Openinf Act: http://www.youtube.com/watch?v=DexcrCOiJHk
Kalau gue boleh menyebutkan satu dari sekian banyak hal yang paling gue benci di dunia saat ini, jawabannya adalah: MANTAN PACAR YANG NUSUK GUE DARI BELAKANG TAWURAN. Yeah!, tawuran telah menjelma menjadi wabah yang membahayakan bagi masyarakat Indonesia. Selain gizi buruk tentunya. Tawuran antar pelajar, mahasiswa, genk, kelompok masyarakat, komunitas tertentu, dan masih banyak lagi. Penyebabnya kadang sepele dan tidak masuk akal. Dan alasan paling klasik ialah atas nama harga diri individu/kelompok tertentu.
Sebenarnya ‘Harga Diri’ itu apa sih?
Menurut gue, harga diri adalah gambaran sikap seseorang/individu dalam menilai potensi dan atau kompetensi pada dirinya sendiri yang sifatnya implisit dan tidak diverbalisasikan. Gampangnya gini, sikap seseorang/individu dalam menilai eksistensi dirinya pada lingkungan sekitar. Harga diri akan dinilai positif jika seseorang/individu tersebut memberikan/menghasilkan/menciptakan/meng-create sesuatu yang bisa memberikan manfaat bagi orang banyak bahkan nusa dan bangsa. Dan, harga diri akan dinilai negatif jika yang dihasilkan oleh seseorang/individu tersebut berdampak buruk/memberikan kerugian besar bagi lingkungan sekitar.
Nah, selama ini yang menyebabkan tawuran adalah kesalah kaprahan dalam mengartikan/memaknai harga diri tersebut. Mereka (golongan yang hobi tawuran itu) menganggap sesuatu/tindakan dari orang/pihak lain yang tidak sesuai dan melukai perasaan selalu disamakan dengan menyinggung harga diri. Terjebak dalam pusaran ego diri. Maunya orang lain harus mengikuti kehendak kita dan tidak mau menerima kritik. Padahal perbedaan prinsip dan pendapat dapat memberikan wawasan baru jika mau menyikapinya dengan dewasa. Toh, manusia memang diciptakan untuk saling melengkapi satu sama lain. Oke, boleh lah debat tapi secara elegan. Tidak boleh mengedepankan emosi/sentimen pribadi melainkan akal sehat. Sehingga dapat tercipta harmoni hidup yang mengalun damai.
Mengingat manusia adalah tempatnya khilaf, gue juga bisa paham jika di satu titik tertentu tidak bisa mengendalikan emosi. Gue sendiri pastinya pernah/adakalanya/sering mengalami. Apalagi kalau terbayang mantan pacar yang lari bersama mantannya. Marah, berang, geram, gemas, gregetan, dongkol, jengkel, keki, kesal, sakit hati, letih, tenggorokan kering, sariawan, susah buang a.. eh! Lu panas dalam, yak?!
Hadeuuh! Nge-galau wae!
*Kenapa lu? Aneh banget!
Atau jangan-jangan...
Ciyyeeehhh... ada yang cemburu, neeh... qeqeqeqeqe... [*: Suara dalam hati ala sinetron]
Kagak lah! Ya gue heran aja, apa sih menariknya makhluk kurus item monyong berkumis nyuprus ala Duta Sheila On Seven ketimpuk pupuk kandang itu?
Gak ada yang lain apa? Yang lebih bagus gitu? Minimal yang gak jorok-jorok amat.
Emang gue akui, fisically gue jauh lebih unggul. Cuman satu: gue bukan orang tajir. Ya, secara gue hanyalah seorang pekerja freelance (catet ya: pekerja FREELANCE) di bidang Geographic Information System yang bermarkas di Jakarta-Bogor. Hobi backpacker dan bercita-cita pengen merasakan naik semua jenis/model kereta api di seluruh dunia. Selain jadi Astronaut tentunya.
Barangkali itulah penyebab utamanya, gue bukan orang tajir macem perabotan lenong berkarat itu #hiks
Cukup!
Back to the topic..
Heran, deh! kok jadi melenceng gini… sampai mana tadi pembahasannya?
Oiya. Penyelesaian masalah tidak harus dengan berantem. Tapi jika terpaksa berantem sebagai solusi terakhir, ya, lakukan secara ksatria: satu lawan satu. Kalau misal bawa pasukan juga harus diseimbangkan satu sama lain/disesuaikan dengan kebutuhan. Kemudian tentukan siapa lawan siapa. Yang penting jangan keroyokan. Bila perlu sewa wasit. Dengan catatan setelah adu otot selesai apapun hasilnya harus diterima secara fair. Biasanya cara seperti ini malah bisa menumbuhkan rasa persahabatan. Habis berantem jadi sahabat. Keren kan...
Atau pakai cara lain yang lebih asik dan menyehatkan: tanding futsal.
Dan membicarakan perihal tawuran, gue jadi ingat jaman masih SMA dulu…
Gue menghabiskan masa SMA di kota Madiun-Jawa Timur. Tepatnya di SMA 5 Madiun. Waktu SMA gue cupu banget dan sekolahan gue punya reputasi sebagai tukang tawuran. Asli. Musuh bebuyutan kita adalah SMA Cokroaminoto yang letaknya beberapa meter dari sekolahan gue. Hanya dipisahkan oleh anak sungai bengawan Solo-Madiun. Jadi kalau sudah terjadi tawuran seluruh aktivitas di kota Madiun langsung terganggu total sebagaimana halnya New York City mati lampu pas jam kerja.
Letak sekolahan gue emang strategis banget di jalan Mastrip…
Jalan Mastrip mempunyai julukan Heart Of Madiun City. Pusat kota Madiun. Disitu berdiri kompleks sekolahan unggulan mulai dari ujung: SMA 1, SMKN 2, SMA 3, SMA 5, SMA Cokroaminoto, dan ehm… Taman Bakti. Yang terakhir no comment. Kebetulan aja nyangkut. Di seberang depan sekolahan gue berdiri megah Stadion Wilis Madiun tempat perhelatan akbar sepakbola dari mulai kelas Walikota Cup sampai Liga Super Indonesia. Stadion yang pernah disewa sama salah satu klub peserta Liga Super Indonesia dari Pasuruan pada musim 2005/2006 an. Ketika itu klub tersebut diperkuat oleh pemain asal Liberia, Zah Rahan Krangar yang sekarang membela Persipura. Tidak jauh dari stadion tersebut merupakan kompleks perkantoran Pemerintah Kota Madiun. Sebelahnya lagi di sisi timur atau tepatnya di jalan Pendawa ada radio tempat gaulnya anak-anak muda Madiun dan sekitarnya. Seratus satu koma enam…. DCS FM. Moga aja theme songnya belum berubah pake Alamat Palsu-nya Ayu Ting Ting.
Pada moment-moment tawuran yang pernah terjadi, gue tidak pernah terlibat di dalamnya. Lebih tepatnya tidak mau melibatkan diri. Tentunya ini sangat berseberangan dengan teman-teman yang lain. Gue jadi dianggap tidak solider dan penakut. Terserah. Gue tidak peduli. Menurut gue tawuran itu apa yah… cemen. Kampungan. Ironis aja sebagai pelajar yang seharusnya pola pikirnya bisa lebih modern kerjaannya malah tawuran. Apa sih yang bisa dibanggakan dari tawuran. Lu dianggap jagoan, gitu? Hahahaha.. Jagoan Neon? Mana ada awards untuk tawuran? Yang ada cuman bikin celaka. Tidak sedikit pelajar yang meninggal sebagai korban tawuran.
Bicara tentang rivalitas antara SMA 5 Madiun dengan SMA Cokroaminoto Madiun yang sepertinya sudah mengakar, mendarah daging, terwariskan secara turun-temurun dari satu angkatan ke angkatan lainnya. Doktrin pertama yang didapat dari anak SMA 5 Madiun bukan Ke-Bhineka Tunggal Ika-an melainkan kondisi bahwa SMA Cokroaminoto adalah musuh utama yang harus diperangi. Begitu juga sebaliknya. Bukan rahasia lagi bagi masyarakat Madiun dan sekitarnya. Sudah jadi semacam Trademark-nya Kota Madiun selain nasi pecel yang super-super ajib dan telah mendunia itu.
Gue jengah dan hampir-hampir pengen pindah Negara aja. Tapi sahabat gue dengan sabar menjelaskan ke gue bahwa hujan batu di negeri sendiri masih jauh lebih baik ketimbang hujan emas di negeri orang #ngemeng.
Gue sendiri berteman dengan pelajar-pelajar dari sekolah lain. Sahabat gue yang bersekolah di SMA Cokroaminoto lumayan banyak juga. Salah satunya Bayu Gustomo (add di: bayudeoranje@ymail.com). Bahkan Bayu ini merupakan vokalis band-nya adik gue, Galih Budi Santoso (add di: galihbudijadoel@yahoo.com) yang mengusung lagu-lagunya Slank. Gue gak ikut di dalamnya karena beda aliran. Waktu itu gue suka bawain lagu-lagunya Oasis, Rialto, Suede, GreenDay, Nirvana, Andy Lau, F4, halah…, bareng –add di: Gringgo Reckorner, Yudo Astro Notme, dan Dede Unlimo.
Gue bareng beberapa sahabat dari SMA lain termasuk Cokroaminoto sempat saling curhat mengenai kondisi yang memprihatinkan di dunia pendidikan khususnya di kota kami… (iye, tawuran emang suka ada dimana-mana). Dalam obrolan ringan sambil minum kopi di lesehan samping Stadion Wilis tersebut sempat terlintas di benak untuk membentuk boyband aja (hah! Lu kate gue Justin Timberlake). Tapi akhirnya gak jadi. Lagian siapa juga yang mau memproduseri sekumpulan bocah labil galau tak bermasadepan kayak kite-kite. Bisa rugi bandar.
Satu lagi yang mengundang kegelisahan gue. Di Madiun berdiri pusat dua perguruan pencak silat terbesar –mungkin- di Indonesia, yaitu: Persaudaraan Setia Hati Winongo dan Persaudaraan Setia Hati Terate. Penganut ideologi kedua persaudaraan tersebut merupakan yang terbanyak di Madiun dan sekitarnya.
Kedua PSH tersebut mempunyai sejarah yang saling berkaitan. Atau malah bisa diibaratkan sebagai saudara kandung karena berdasarkan beberapa literature dari berbagai sumber yang gue baca, kedua PSH tersebut lahir dari seorang bernama Ki Ngabehi Soerodwirjo yang familiar dengan sebutan Eyang Suro. Eyang Suro ini awalnya memprakarsai pencak silat bernama Djojo Gendilo Tjipto Muljo yang didirikannya pada tahun 1903 di Tambak Gringsing, Surabaya. Suatu ketika beliau kecewa karena atasannya yang seorang Belanda itu sering tidak menepati janji dalam banyak hal berkaitan dengan kerja dan karirnya. Saat itu beliau menjabat sebagai Polisi Dienar hingga mencapai pangkat Sersan Mayor. Mereka juga mencurigai Eyang Suro pernah melempar seorang pelaut Belanda ke sungai dan tentunya kekuatan massa dari perguruan silat yang beliau dirikan tak luput dari kekhawatiran Belanda. Situasi makin tidak kondusif, Eyang Suro memilih keluar dan pergi ke Tegal-Jawa Tengah ikut seorang paman yang menjabat sebagai Opzichter Irrigatie.
Pada tahun 1914, Eyang Suro kembali ke Surabaya dan bekerja di Jawatan Kereta Api Kalimas. Setahun kemudian, 1915, Eyang Suro pindah ke Bengkel Kereta Api Madiun (sekarang PT. INKA Madiun). Disinilah, setelah beberapa tahun vakum karena banyak hal yang mengganggu, pencak silat Djojo Gendilo Tjipto Muljo mulai aktif kembali. Sekitar tahun 1917, setelah melakukan demo terbuka di alun-alun Kota Madiun, perguruan asuhan Eyang Suro mulai mendapatkan hati dan menjadi popular di kalangan masyarakat Madiun. Alhirnya Eyang Suro mengganti nama Djojo Gendilo Tjipto Muljo dengan Setia Hati.
Demi memperluas ideologi ke-Setia Hati-annya agar dapat diterima oleh semua kalangan. Pada tahun 1922, salah seorang murid Setia Hati paling militan bernama Ki Hadjar Hardjo Oetomo mendirikan Persaudaraan Setia Hati Terate. Pada awalnya nama Setia Hati Terate adalah Pencak Silat Club karena Eyang Suro belum memperkenankan Ki Hadjar menggunakan kata ‘Setia Hati’ dulu sebagai nama perkumpulan yang dia dirikan. Dalam ajarannya, Ki Hadjar Hardjo Oetomo menanamkan suatu sikap hidup ‘Tidak mau menindas orang lain dan tidak mau ditindas orang lain’. Dari waktu ke waktu pengikut PSC semakin banyak dan Ki Hadjar meminta restu agar menggunakan nama ‘Setia Hati’. Eyang Suro mengijinkan akan tetapi harus ada kata lain setelah Setia Hati. Ki Hadjar memutuskan menggunakan nama Setia Hati Muda. Hingga akhirnya Eyang Suro wafat pada 10 November 1944 meninggalkan seorang istri dengan mewakafkan sebagian pekarangan rumahnya untuk dijadikan base camp Setia Hati. Jasad beliau dimakamkan di desa Winongo-Madiun-Jawa Timur.
Pasca meninggalnya Eyang Suro muncul konflik yang berpangkal dari salah penafsiran dan klaim kebenaran/orisinalitas ideologi ke-Setia Hati-an yang dimotori oleh dua murid paling tangguh yang diharapkan bisa mengayomi pengikut Setia Hati menjadi insan-insan yang bijaksana dan berguna dalam lelaku hidup di masyarakat. Pertentangan ideologi tersebut mengakibatkan perpecahan di tubuh Setia Hati menjadi dua kubu/wilayah teritorial. Setia Hati di desa Winongo sehingga menjadi Setia Hati Winongo dan Setia Hati Muda di desa Pilangbangau yang bertransformasi menjadi Setia Hati Terate.
Konflik terus memuncak dan mengakar sampai sekarang. Menciptakan teror menakutkan bagi masyarakat Madiun dan sekitarnya. Saling serang dan saling menyalahkan. Masing-masing mempertahankan ideologinya. Hubungan kedua perguruan pencak silat ini semakin tidak sehat karena tak jarang dimanfaatkan oleh elit-elit politik dalam menjaring massa untuk melanggengkan tujuan politisnya dan merebut/memperluas basis ekonomi. Perbedaan kasta juga mewarnai jagad pertikaian dari kedua kubu. SH Winongo tumbuh dalam lingkungan bangsawan dan priyayi di perkotaan sedangkan SH Terate tumbuh dalam lingkungan orang biasa di pedesaan. Seiring berjalannya waktu kedua SH tersebut berkembang mengikuti kultur masyarakatnya.
Gue ingat, setahun sekali di Madiun ada karnaval dalam rangka merayakan HUT kemerdekaan RI. Pawai tersebut umumnya diisi oleh marching band, sepeda hias, pakaian adat Sabang sampai Merauke dari berbagai tingkatan sekolah. Mulai TK, SD, SMP, SMA. Waktu itu gue dipilih untuk mendemonstrasikan ketampanan gue #gakpenting. Selain itu juga ada dari PNS, Universitas-Universitas, Komunitas-Komunitas, dan tak ketinggalan SH Winongo dan SH Terate juga terlibat dalam karnaval tersebut. Suasana bukannya jadi meriah dan menyenangkan. Akan tetapi jadi menegangkan karena keduanya tak pernah lepas dari pertikaian. Dimana pun. Tidak peduli dalam kondisi/even apapun. Baru sampai start aja udah lempar-lemparan batu. Beres karnaval… jangan tanya, deh.
Gue yakin, mereka yang menerima ajaran tersebut, entah karena masih labil, masih terlalu muda, belum dewasa, temperamental, atau dipengaruhi dendam sehingga tidak tertanam seutuhnya. Istilahnya ideologi buta. Ujung-ujungnya jadi provokator. Hal sepele dibesar-besarkan.
Bibit-bibit inilah yang sedikit banyak menyusupi penyebab tawuran pelajar yang melibatkan sekolah gue.
Ada berita yang mengatakan bahwa sekolah gue merupakan basis SH Winongo dan SMA Cokroaminoto merupakan basis SH Terate.
What the...
Dengar ya...
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai perbedaan dan menjunjung tinggi persamaan harkat-derajat manusia.
Pribadi unggul adalah yang mampu dan mau memikirkan dampak dari tindakannya.
Bukankah penggagas kalian jauh sebelum nama Winongo dan Terate muncul telah mengajarkan mengenai Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Al`amru bil-ma'ruf wannahyu'anil-mun'kar adalah frase dalam bahasa Arab yang maksudnya sebuah perintah untuk mengajak atau menganjurkan hal-hal yang baik dan mencegah hal-hal yang buruk bagi masyarakat. Jelas bukan?
Atau jangan-jangan kalian tidak pernah paham arti/maknanya? Apalagi mengamalkannya?
Bukankah selain mengajarkan olah raga dan kanuragan, penggagas kalian mempunyai visi dan misi ikut serta dalam memelihara dan membangun ketertiban, keamanan, serta keselamatan Negara/Dunia (Memayu Hayuning Bawono)?
Bukankah sebelum wafat, penggagas kalian, Ki Ngabehi Soerodwirjo berpesan agar saudara-saudara Setia Hati tetap bersatu dan rukun lahir bathin?
Mulai sekarang, siapapun kalian, apapun status kalian, apapun label kalian, entah itu Winongo, Terate, SMA 5, SMA Cokroaminoto, dan SMA-SMA lain di Madiun, berjiwa besarlah untuk berdamai dan bersatu demi ke-kondusif-an tata kehidupan khususnya di Madiun dan sekitarnya sehingga menjadi inspirasi bagi generasi-generasi muda lainnya di seluruh Indonesia bahkan dunia.
Gue nggak bermaksud sok tahu atau sok pinter, gue yakin Madiun punya potensi wisata sejarah yang besar. Kedua perguruan pencak silat ini bisa jadi daya tarik wisatawan baik dari dalam maupun luar negeri untuk belajar dan mengenal. Siapa tahu dari sini bisa mendapatkan nafkah yang berkah. Bukan bermaksud mengkomersilkan tetapi hal tersebut bisa menjadi salah satu langkah untuk melestarikan budaya daerah. Kalian bisa jadi master pencak silat dan keliling Indonesia bahkan dunia atas rekomendasi dari wisatawan-wisatawan yang pernah datang. Udah banyak kok yang bisa seperti itu. Positif dan lebih menjanjikan bukan?
Dan buat yang masih sekolah, belajarlah yang rajin agar masa depan kalian terjamin. Terserah kalian mau ikut pencak silat yang mana, poin terpentingnya adalah jalankan ajaran seutuhnya dengan bijaksana dan rangkulah kawan apapun latar belakangnya.
Lu pikir siang malam nyokap bokap lu cari nafkah sampai jungkir balik buat apa?
Sekolah lu, Man!
Dan lu pernah dengar do’a mereka?
Segalanya buat lu!
Buat mereka prestasi lu di sekolah merupakan kebanggan tiada tara melebihi apapun. Mereka tidak minta apa-apa selain itu. Maka dari itu berbaktilah. Hargai jerih payah mereka. Tiap bulir keringat yang menetes adalah harapan.
Sekali lagi , sekarang bukan jamannya TAWURAN!
Akhiri tradisi TAWURAN!
BerPrestasilah di bidang yang kalian suka dan kuasai.
Hidup Madiun! Hidup Indonesia!
Bhineka Tunggal Ika
I love you All
Perlu dikasih cctv barangkali ? Ntar film yang jadi di buat lucu-lucuan trus di cd kan lalu dijual. Lumayan ...
BalasHapushehehe, bagus jga tuh idenya,
BalasHapus