Sabtu, 19 Februari 2011

Obrolan Pagi Di Kantin Kampus ; Episode : Super Raphael




Seorang wirausaha harus punya inisiatif untuk memulai sesuatu yang baru sama sekali. Punya greget, atraktif. Inovatif dan berani bereksperimen untuk mengembangkan bahkan menciptakan produk-produk atau jasa-jasa baru yang layak dipasarkan. Atau bahkan system-sistem baru yang memudahkan proses produksi hingga pemasaran. Seorang wirausaha harus punya spirit seolah tak ada matinya dalam menjawab masalah dan tantangan pasar. Melek teknologi. Sadar akan resiko namun tidak takut dengan kegagalan. Kegagalan justru dijadikan jembatan menuju sukses. Seorang wirausaha akan terus meningkatkan kualitas dan kuantitas tanpa cepat puas untuk melanggengkan bisnisnya. Gigih memasarkan produk maupun jasa. Kepuasan pelanggan ada diatas segalanya. Dan yang paling utama seorang wirausaha harus punya prinsip kuat.


Jiwa-jiwa itu ada pada diri Raphael. Ya, cowok berdarah sunda-betawi campur amphibi ini dengan gagah berani memutuskan keluar dari perusahaan keluarga yang berkecimpung di bidang advertising dan memilih berdiri sendiri. Keputusan yang diambilnya bukannya tanpa dia pikirkan resikonya dulu. Dia menyadari betul pasti akan ada hal-hal atau kepentingan-kepentingan pribadi yang musti dikorbankan. Jika selama ini dia bisa dengan leluasa makan jengkol di rumah maka sekarang sudah saatnya mencari dengan keringat sendiri.

Lalu kenapa dia memilih hengkang dari perusahaan keluarga yang udah ga’ perlu lagi diragukan nama besarnya (papan nama perusahaannya aja lebih besar daripada bangunannya!!. Deeeeeng!). Padahal jabatannya tidak tanggung-tanggung. Cleaning Service, boook!!… eh!… Vice Operational Director ding. Keren kan. Alasan dia ingin berdiri sendiri karena dia mengalami inefisiensi. Sistem di perusahaan dianggapnya sudah tidak efektif lagi dan ketinggalan zaman. Udah gak relevan bagi dia. Ide-idenya selalu dicampakkan begitu saja oleh Dewan Komisaris yang notabene ortunya sendiri. Mereka lebih suka gagasan dari Operational Director. Pamannya sendiri. Alhasil sepanjang karirnya dia selalu berseberangan paham dengan pamannya itu. Sering terjadi gesekan (di pantatnya/pantatnya sering digesek pamannya sendiri). Persaingan semakin lama semakin tidak sehat. Raphael pun mengalah untuk menang.

Maka dengan langkah gontai, Raphael keluar dan melambaikan tangan to saying goodbye kepada perusahaan keluarga yang selama ini telah menaunginya hingga dia mengerti arti sebuah prinsip dan idealism yang memang harus diperjuangkan bahkan mempertaruhkan jabatan sampai nyawa sekalipun.

Edun!.

Malamnya, ketika bulan menyunggingkan senyum, bintang – bintang bertaburan bak mutiara di langit, burung hantu bersiul-siul, dan tetangganya lagi sibuk bikin Baby, di gubuk sederhananya yang hanya terbuat dari jerami beralas tanah dan ditemani pelita kecil bernama lilin --maklum jagoan, tidak pernah sukses di awal cerita, secara juga baru aja resign ya kan, so harus bener-bener berhemat dulu nih-- Raphael membuka pelan buku yang bakal merubah segalanya, buku yang bakal memutar balikkan titik nadir kesialan hidupnya menuju keberuntungan.

Pelan dan penuh penghayatan…..

Raphael mulai mengeja…..

K ka A ka KA, T te A ta TA, P pe E pe PE, N n n G eNG ditambah A NGA ditambah N NGAN, T te A ta TA ditambah R TAR,,
KATA PENGANTAR….

Kapan beres bacanya, mas!?

Ada yang pake aksara Arab gundul ga sih?, Raphael protes.

Lu kate Pondok Pensantrennya mbahmu!.

Buku keramat yang sedang dibaca Raphael tersebut adalah buku yang berjudul BLUE OCEAN STRATEGY terbitan tahun 2005 dari Harvard Businnes School Press, ditulis oleh W. Chan Kim dan Renee Mauborgne. Dapatkan segera bukunya di…(halah!)… gundulnya Widi.

BLUE OCEAN STRATEGY mengupas tuntas dan mengindentifikasi parameter-parameter apa yang dianggap paling bernilai oleh pelanggan. Strategi keluar dari persaingan RED OCEAN yang dari dulu selalu bermuara pada kemenangan yang berdarah-darah. Namun, BLUE OCEAN STRATEGY memberikan pandangan baru bagi individu/perusahaan untuk mencapai keunggulan bersaing dengan jalan inovasi. Strategi meraih kemenangan tanpa harus mengalahkan lawan.

Raphael membantai habis lembar demi lembarnya…..

Raphael mulai mengulum senyum, seakan mulai menemukan pintu keluar untuk bangkit dari keterpurukan sementara ini.

Triiiing!!.

Beribu ide langsung mengalir deras sampai hampir-hampir tidak bisa ditampung lagi dan mau tumpah dari otaknya yang segede biji sawi itu.

Raphael beranjak dari duduknya, berlari menuju halaman gubuknya, lalu berhenti, menatap ke langit belahan utara, sambil menunjuk rasi bintang Pegasus seakan sedang mengucapkan sebuah janji yang hanya disepakati oleh dia dan Tuhan.

Raphael mulai tertawa….

“Hahah” … volume tawanya masih pelan.

“HaHah!”… volume tawanya mulai sedikit meningkat.

“HAHAH! HAHAH! HAHAH!”... volume tawanya mulai kenceng. Disertai aksi garuk-garuk kepala sporadis. Kayak orang kesurupan.

“HAHAHAAAAAAHHH!!!”… Raphael jadi gila.

Finally, sebulan setelah bergulat dengan perencanaan – perencanaan strategi dan pengurusan perizinan usaha, Raphael telah berhasil mendirikan sebuah perusahaan yang diberi nama/label Raphael Cute Advertising, bersama lima karyawannya, dia menyewa sebuah rumah di Perumahan Cimanggu Barata untuk dijadikan kantor, workshop, sekaligus tempat tinggal. Young Enterpreunership Was Born. Lalu bagaimana dengan aktivitasnya sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor?. Apakah terganggu?. Jawabannya tidak. Raphael sangat bisa membagi waktu antara kuliah dan perusahaan. Nilai-nilai akademiknya justru semakin meningkat. Paling signifikan pada mata kuliah Bisnis Internasional. Jika di semester awal dulu dia dapat E sekarang setelah mengulang dia sukses meraih E+.

Bahkan bulan lalu dia diganjar The Rising Star Award di bidang Advertising oleh majalah Takbisadibacakarenatakadahurufnya.

Terus terang gw bangga punya temen kayak dia.

Alhamdulilah, musim kampanye menjelang Pemilu membawa berkah yang tak terkira bagi Raphael Cute Advertising. Perusahaan (yang bahkan belum mencapai masa puber ini) kebanjiran job bikin atribut dari berbagai partai maupun caleg semacam banner, xbanner, sticker, baliho, dan billboard sampai sablon kaos sebagai media pendukung kampanye mereka. Job besar ini sangat menyita waktunya. Sebagai bos, dia harus mengurus segala keperluan mulai dari tanda tangan kontrak, kontrol kualitas, hingga belanja bahan-bahan sendirian. Semua dia lakukan demi menjaga kepuasan pelanggan. Dia bukan tipe pengusaha muda yang sok pake asisten. Dia juga tidak segan turun tangan langsung seperti membuat sablonan kaos misalnya (gimana ga’, kelima karyawannya itu mantan narapidana semua, mantan tukang bunuh, berani nyuruh-nyuruh bisa dibantai dia). --Lah, trus ngapain dia jadi bos kalo malah terindimidasi oleh bawahannya sendiri--.

Tak jarang ketika di kampus dia masih menyisakan kantuk yang belum terlunaskan. Raphael tetap tak mengeluh. Senyumnya selalu lebar. Saking lebarnya lemaripun bisa masuk.

Berbicara tentang sablon, pernah ada kejadian yang entah bisa dibilang lucu atau malah konyol.

Gini ceritanya…..

Raphael yang suka bereksperimen itu coba-coba menyablon mukanya dengan gambar muka David Beckham. Bisa ditebak, sepanjang perjalanan ke kampus (o, iya, biarpun pengusaha, si Raphael masih suka naik angkot lho kalo pergi kemana-mana) dia dielu-elukan. Rambutnya dijambak-jambakin, pipinya dicubit-cubitin, tangannya dicakar-cakarin, lalu dipukulin, ditendangin, diinjek-injek, terakhir hampir dibakar massa (ntar, ini lagi gemes ama David Beckham apa kesel ama tukang copet sih?). Sesampainya di kampus, cewek-cewek penggemar bola (setelah ditelusuri ulang ternyata beberapa diantaranya adalah penggemar rujak yang sengaja menyelinap) tidak ingin buang-buang telek sembarangan kesempatan. Mereka beramai-ramai minta berfoto bareng. Ga’ nyangka David Beckham mau maen ke IPB, ada apa gerangan?. Pikir mereka. Gw aja waktu itu juga sempat kaget. Tapi gw jadi curiga aja. Ini David Beckham kok ga’ setinggi seperti yang diinformasikan di majalah-majalah olahraga. Kejadian tersebut membuat jadwal kuliah dan jadwal keberangkatan Haji jadi kacau.

Untungnya ga’ berapa lama kemudian turun hujan (dasar kota hujan!). Mereka yang lagi asik foto-fotoan ama David Beckham gadungan di halaman kampus spontan pada membubarkan diri. Hujan yang disertai petir dan angin itu mengguyur Raphael yang tak sempat lari meneduh. Sablon muka David Beckham-nya luntur. Sial, rupanya dia tadi keliru make cat tembok murahan buat bahan sablon. Muka aslinya (yang mirip kura-kura itu) sedikit demi sedikit mulai tersibak. Mereka yang udah terlanjur foto bareng shock berat. Merasa tertipu. Kesel banget rasanya. Sampai-sampai ada yang ngebuang HPnya karena ga’ tau cara nge-delete foto Raphael didalamnya.

Kebiasaan Raphael setelah menggarap proyek besar dengan untung besar pula adalah pergi ke salon. Potong rambut dan facial udah jadi semacam trademark Raphael kalo ke salon langganannya. Mereka (pegawai salon itu) udah hapal betul. Dulu, ketika awal-awal si Raphael baru jadi member di salon tersebut – namanya Mitha Salon For Pets- emang dibutuhin penyesuaian. Sampai-sampai pegawai-pegawai salon yang cantik-cantik, wangi-wangi, en mahir itu harus di-training ulang oleh seorang trainer khusus yang didatangkan langsung dari neraka jahanam untuk spesialisasi kulit aneh.

Kulit aneh?. Maksudnya apa?. Makanya dengerin dulu.

Jadi gini pas pertama kali nyalon sempat terjadi insiden yang menyebabkan kesalah pahaman antara pemilik salon-tukang becak-pegawai salon-penjual ketupat sayur-Raphael-dan anjing liar.

“ Mbak, tolong ya nanti rambut saya dipotong model spike campur 90’es style, abis itu facial.” Pinta Raphael ama salah satu pegawai salon yang nampak terpaku seolah tak percaya dengan keberadaan makhluk yang (modelnya) baru dia lihat selama seumur hidupnya. Sementara itu pemilik salon yang kebetulan juga ada disitu untuk inspeksi langsung minum obat pencahar. Pada jam yang sama penjual ketupat sayur sedang menagih uang makan ke tukang becak di depan salon tersebut karena udah satu bulan nunggak. Lalu anjing liar nyari-nyari Raphael buat diajakin maen petak umpet. Hayah!.., trus hubungannya apa?.

“ Ehm!, tapi m,m,m,… maap mas, tol, tol, tol (tol apa hayo?), tolong helmnya dibuka dulu ya.” Kata pegawai salon tersebut dengan intonasi agak tergagap karena ngerasa ga’ enak mau ngungkapinnya. Takut nyinggung perasaan (tenang aja mbak, Raphael itu hatinya terbuat dari batu kok).

“ Sorry,?, Helm?,..” tanya Raphael dengan nada heran. Tangannya meraba-raba mukanya sendiri sambil berkata “ Maksud mbak ini?..”……, “ Hhhhhs!!..” Raphael menghempaskan napas kesal tapi maklum. Lalu dia memegang kedua sisi bahu pegawai salon tersebut. Matanya menatap jauh ke dalam mata pegawai salon tersebut (semoga tidak sampai turun ke hati, harapnya). “ Mbak….., muka saya emang udah begini dari sononya tauk!!.”.

“ Astagfirullah.”

Acara potong rambut pun dimulai.

Ternyata memotong rambut Raphael tak semudah yang dibayangkan. Dibutuhkan energi listrik tambahan karena sering korslet. Demi memuaskan pelanggan, pemilik salon rela merogoh kocek lagi untuk menyewa genset/generator agar daya listrik bisa tetap stabil sehingga gunting rambut elektrik bisa digunakan dengan normal lagi. Rambut Raphael tebel banget. Tingkat ketebalan per helainya nyaris sama ama selembar kulit badak berukuran 3m x 3m. Pegawai salon yang bertugas motong rambut Raphael sempat putus asa dan minta disuruh motong rumput aja kalo boleh. Setelah diyakinkan oleh teman-teman seprofesinya yang lain, dia pun melanjutkan tugasnya lagi. Namun masalah baru muncul lagi. Kali ini guntingnya patah. Ganti gunting baru, patah lagi. Sampai persediaan gunting rambut habis. Tak ada pilihan lagi. Akhirnya setelah rapat singkat pihak manajemen memutuskan memakai Chain Saw* aja.

[* : Gergaji mesin buat nebang pohon di hutan]

Selesai potong rambut masuk ke step selanjutnya. Facial. Raphael merasa kulit wajahnya lelah banget karena beberapa minggu lalu dipake begadang terus ngejar target setoran. Pegawai salon yang spesialisasinya facial mulai mengoleskan krim-krim kosmetik untuk kesehatan kulit wajah.

“ Mbak bisa ga’ wajah saya dirubah jadi ganteng?” Tanya Raphael penuh harap.

“ Wallahu alam. Terimalah takdir anda.” Jawab pegawai salon dingin dan datar. Bahkan tanpa menoleh ke arah Raphael. Takut ketularan penyakit ‘muka mirip Raphael’ yang endemic banget itu.

Raphael ga’ selera nanya lagi.

Pegawai salon tersebut mulai memijat-mijat lembut wajah Raphael. Raphael terbuai. Tiba-tiba …………….. “ Argghhh!!!.”. Dia merintih kesakitan. Telapak tangannya berdarah-darah. Rasanya perih seperti disayat-sayat silet. Kulit wajah Raphael kusut dan kasar banget. Tajam lagi. Pemilik salon merasa bertanggung jawab atas musibah yang menimpa karyawannya. Dia menyuruh security mengantarkan pegawai salon tersebut ke rumah sakit untuk diobati lukanya sekalian suntik anti tetanus. Kemudian dia – pemilik salon tersebut- merasa harus turun tangan sendiri. Dia mulai menganalisa jenis kulit Raphael memakai detektor yang hasilnya langsung masuk ke komputer. Hmmm, setelah melihat hasilnya dia mengangguk-angguk tanda mengerti. Lalu dia ke belakang, nyalain setrikaan, panasnya distel hingga 500 derajat Fahrenheit, dan nyoss….. muka Raphael pun langsung nggak kusut lagi seperti yang diharapkan.

“ Sekarang muka mas udah halus. Mas pengen mukanya dijadiin mirip siapa?.” Tanya pemilik salon sambil bersegera mengambil wudhu untuk menghilangkan najis karena sempat secara tidak sengaja tersentuh Raphael. Raphael melihat ke arah cermin sambil memikirkan keputusan mau dijadiin mirip siapa mukanya. Yang pasti bukan David Beckham lagi.

“ Tapi mbak, ga’ pake acara operasi plastik atau face-off gitu kan mbak?, soalnya saya ngeri ama alat-alat operasi di rumah sakit.” Raphael balik nanya.

“ Nggak kok mas, kita pake cara yang natural dan dijamin sehat mas.” Jawab pemilik salon meyakinkan.

“ Oke deh, saya pengen muka saya dibikin mirip Dwi Sasono aja. Itu lho mbak, yang maen film Mendadak Dangdut bareng Titi Kamal. Tau kan?”

“ Ho’oh.” Jawab pemilik salon. Pura-pura tau. Lalu dia segera menelpon pelukis portrait tiga dimensi langganannya untuk ngasih order tersebut.

Sembari menunggu pelukis tersebut, Raphael ngajak ngobrol pemilik salon untuk mengusir bosan. Dalam beberapa menit saja mereka udah tampak akrab. Sesekali pemilik salon tertawa karena cerita-cerita lucu Raphael. Suara tawanya seksi banget. Raphael terangsang. Niat memperkosa pemilik salon yang juga bahenol dan masih lajang itu pun mulai mengkontaminasi otak Raphael. Semakin ditahan semakin ingin meledak. Ketika tangannya hendak mencengkeram tangan pemilik salon tersebut. Hanya tinggal beberapa inci saja, pelukis portrait yang ditunggu-tunggu datang. Sialnya dia lagi mood -dan maunya cuman- melukis wajah monyet. Mau ga’ mau Raphael pun harus terima daripada pulang dengan muka rata. Bisa-bisa malah disangka hantu muka rata. Serem banget kan.

O, iya, gw lupa….

Sebelum cerita ini gw tutup,

Gw juga pengen cerita tentang sejarah nama Raphael….

Kok bisa dia itu dipanggil dengan sebutan Raphael?. Nama aslinya kan Misbahudin. Islami banget. Gw yakin kedua ortunya ngasih nama tersebut dengan harapan agar suatu saat kelak anaknya itu jadi orang yang taat agama (kenyataannya lebih kanibal dari tikus got), jadi seorang pendakwah seperti AA Gim misalnya atau minimal jadi tukang sapu mesjid. Dan Raphael….., kedengarannya latin banget ya kan…, orang yang belum pernah ketemu langsung dan cuman baru tau namanya doang pasti ngira dia itu berasal dari Spanyol atau Meksiko gitu. Raphael?, Spanyol?, Meksiko?…, Cacados!.

Cacados?, apa coba..,

Yang lebih konyol lagi. Pas semester ketiga sekretariat program study gw di kampus salah nulis nama Misbahudin pake nama Raphael. Ck,ck,ck,.. segitu familiarnya ya nama Raphael.

Alhasil, pas salah satu dosen gw ngabsen, Raphael protes.

“Maaf, Pak, telah terjadi kesalahan pengetikan. Nama saya sebenarnya Misbahudin.. hehehe.”. . Raphael menginterupsi sambil cengar-cengir. Tangannya diangkat-angkat. Padahal habis dipake garuk-garuk pantat. Dasar tidak sopan.

Menanggapi interupsi Raphael, bapak Dosen malah mengernyitkan dahi. Mulai menelisik dari bentuk muka sampai bentuk bibir Raphael dari tempat duduknya. Kacamatanya diturunin, dinaikin lagi, diturunin lagi, dinaikin lagi.

“Upss!, sorry. But, I think, you are really Raphael, member of Teenage Mutant Ninja Turtles. Mmm., yeah!, I think…”..,

Seisi kelas langsung gempar…., Raphael cuman bias mangap ga percaya ama statement bapak Dosen barusan.

“Lalu, siapakah bapak?!”.. Tanya Raphael penuh penasaran…

mendadak seisi kelas jadi hening. Ketegangan mulai menyelimuti seiring ketidaksabaran menunggu jawaban bapak Dosen yang lumayan freaky damn cool itu.

“Saya adalah…”

Deg!…, atmosfir dramatis menyeruak ke seisi kelas, bapak Dosen mulai menelisik satu persatu muka anak-anak di kelas. Seolah sedang melakukan undian siapa dulu yang akan dimakannya. Lalu beliau menyeringai kejam dan bersiap melompat… seisi kelas semakin tegang menunggu kelanjutannya.

“Master Splinter!!!,, hiaaa.. ciaaat!!!..,, kawabangga!!!..,”, seru bapak Dosen sambil salto-salto menuju ke arah Raphael. Begitu sampai di depan Raphael, bapak Dosen ‘Master Spilnter’ itu langsung minta sisa pizza.

“Tiga hari belum makan nih, Hikss..”. suaranya memelas.

“Plakkkk! Plakkk! Plakkk!”. Raphael menampar bolak-balik bapak Dosen ‘Master Splinter’ itu untuk menyadarkan bahwa seorang Hero harus tegar dalam situasi dan kondisi apapun.

Seisi kelas jadi terlihat kayak sekumpulan orang idiot. Si Widi yang gundul itu mulai melakukan tari goyang kepala hacya hacya tumjahe tumjahe mere mere layaknya tuyul lagi bokek.

Cukup!,

Mari kita kembali ke dunia nyata yang penuh intrik dan kepalsuan ini.

Jujur, asal-muasal julukan keren yang jatuh ke orang yang ga’ keren itu sebenarnya masih ada sangkut pautnya ama gw. Gamblangnya gw ikut andil dalam pemberian julukan tersebut. Waktu itu gw ama Awang lagi ngopi di kantin. Cabut dari kuliahnya Bu Laksmi yang ngebosenin banget. Masa orang Indonesia disuruh belajar Bahasa Indonesia. Sambil ngobrol ringan tiba-tiba Misbahudin datang dan ikut gabung dengan alasan yang sama. Dia duduk berhadapan ama kita berdua. Lima menit pertama masih normal. Kita bertiga ketawa-ketawa sambil bikin cerita-cerita lucu seputar anak-anak yang lagi ikut kuliah. Misalnya pas Bu Laksmi lagi serius nerangin gramar bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai kaidah yang berlaku tiba-tiba si Tamim maju ke depan mamerin tarian perutnya yang baru dia pelajari dari guru tari privatnya. Atau si Adhe Pertiwi yang kurus kering kurang gizi itu tiba-tiba diculik Alien dari planet mana gitu yang kepengen banget maen jailangkung-jailangkungan. Lucu memang.

Bagi gw ama Awang kelucuan-kelucuan yang kita bikin masih standar aja. Cuman kayaknya si Misbahudin punya saraf tawa yang jumlah atau panjangnya lebih dari manusia normal. Makanya dia ketawa terus seolah anak balita lagi digelitikin nyokapnya. Nah, pas ngeliat ketawanya ini (pipi ama bibirnya jadi lebar banget) gw ama Awang seperti teringat seorang tokoh yang ga’ asing. Siapa ya….,?. Lupa-lupa inget.

“ Cuey, kalau lu ngelihat si Misbah lu inget siapa coba?” tanya Awang ke gw. Yang lagi digosipin masih belum berhenti ketawanya. Kali ini malah ampe jungkir balik segala.

“ Emang siapa Wang?” tanya gw balik karena masih belum ngeh betul. Awang garuk-garuk kepala layaknya Wiro Sableng ketularan ketombenya Sinto Gendheng. (Berlagak) Mikir. Udah di ujung bibir tapi susah mau diungkapinnya. Malah jadi iler.

“ Ooohhh!!, ini Wang, Raphael!!, tau kan!?. Itu lho anggota Kura-Kura Ninja yang pegang trisula.” Sambar gw seketika begitu ingat. Awang langsung ketawa “ Iya!, Iya!, bener lu, cuey.”. Sejak detik itu nama ‘Raphael’ secara otomatis telah terlisensi sebagai a.k.a-nya Misbahudin. Barang siapa dengan sengaja mengcopy atau memperbanyak nama apalagi muka Raphael tanpa seijin pihak yang berwajib akan dijatuhi hukuman tinggal bersama Raphael selama sekurang-kurangnya 3 bulan di dalam Septictank. Ketagihan tidak menjadi tanggung jawab kami.

Bogor, 06 February 2006