Rabu, 30 November 2011

Anjing Beler ( Part 2 )



Opening Act: Viva La Vida by Coldplay

Giliran lagi gak ada kegiatan di lapangan, gue nya sakit. Padahal, waktu yang ada sejatinya mau gue pake buat lanjut ngerjain skripsi yang udah hampir 6 bulan terbengkalai. Keasikan kerja.

Sejauh ini skripsi gue udah hampir beres. Cuman tinggal perbaikan-perbaikan dikit. Yang bikin lama adalah gue sering tugas keluar kota sehingga belum sempat ketemu dosen pembimbing lagi.

Kadang gue ngerasa gak enak. Tapi gue harap dospem gue bisa maklum. Beberapa waktu lalu pas gue lagi tugas di Padang, gue sempatin SMS buat ngasih tau sekalian minta maaf karena belum sempat bimbingan lagi.

Wait!, gue tadi nyebutin apa?

Padang!

Damn!

Tuh kan!, gue jadi inget lagi sama bekas pacar yang lari sama mantannya!

Bukan rindu, tapi kesel sekesel-keselnya.

Jadi ingat, selama pacaran, tiap hari gue cuman diajakin berantem. Dari mulai bangun tidur sampai mau tidur lagi isinya cuman berantem.

Gak peduli dimanapun tempatnya. Lagi makan, lagi di angkot (iyeh!, gue emang gak punya motor/mobil, puas lu!), lagi di KRL, lagi jalan-jalan/liburan (di ancol, misalnya), lagi di mana aja!

Rasanya badan gue remuk redam karena nanggepin ‘sakit jiwa’ nya dia.

Gue ngerasa itu efek dari rasa frustrasi dia ditinggal sama cowoknya yang mirip anjing beler kala itu.

Syukurlah, sekarang mereka udah bersatu lagi. Dibelakang namanya juga udah pake nama si anjing beler lagi kayak dulu sebelum ama gue. Iya, emang mereka jadinya malah sama-sama mirip anjing. Emang dasarnya anjing. Di apa-apain ya tetap aja anjing.

Whatever it takes, yang terpenting sekarang hidup gue berjalan normal seperti sedia kala. Tanpa beban. Bebas tak terkendali.

Satu lagi: gue jadi lebih rajin sholat. Alhamdulilah udah bisa lima waktu. Sebagai ungkapan rasa syukur (nazar) gue juga mulai menjalankan puasa senin-kamis. Dan gue jadi lebih fokus lagi sama tujuan hidup gue.

Selasa, 29 November 2011

Anjing Beler ( Part 1 )



Opening Act: For You Now - Bruno Merz

Cie… cie… yang baru balikan sama mantannya…, duh, nama belakangnya juga udah pake nama si cowok, nih!. Yakin tuh, bakal hidup bareng selamanya atau minimal sampai nikah?... hahahahahaha.. ada-ada aja anak jaman sekarang!

Bilang gue norak atau ketinggalan jaman. Tapi jujur, kadang gue heran dan gak habis pikir kalo ada cewek yang udah pake-pake nama cowoknya dibelakangnya. Padahal masih baru pacaran. Iya, sih, itu emang hak masing-masing.

Kayak gimana gitu. Seolah-olah menegaskan bahwa dia gak akan pernah lepas dan gak boleh disentuh oleh siapapun. Emang dia itu siapa?

Salah satu contoh, misal: Dian Sandaljepitnemuditempatsampah

Berarti cewek bernama Dian itu udah jadi hak milik tetapnya si Sandaljepitnemuditempatsampah. Barang siapa berusaha mendekati untuk dijadikan teman, selingkuhan, atau sekedar ngajak tidur bareng… hmm… jangan coba-coba karena Dian sudah punya anjing beler bernama Sandaljepitnemuditempatsampah yang siap menggigit anda dan menularkan rabies kapanpun dan dimanapun anda berada!

Kamis, 24 November 2011

Dear Mbak Suster Yang Manis...





“Di, barusan gue nonton film Ayah, Mengapa Aku Berbeda? di Botani XXI sama cowok gue, pas gue liat si Naga Lyla, ternyata sekilas dia mirip sama lu, yah!”

Siti Nuraini/Pelaku usaha sekaligus teman kuliah di IPB

Sudah tidak terhitung lagi berapa banyak teman-teman gue yang pernah mengatakan hal serupa sebelum-sebelumnya.

Dan Siti Nuraini adalah salah satunya…

Haruskah gue bahagia lalu menjadi sedikit jumawa?

Jujur, kadang statement semacam itu malah memberikan beban secara psikologis buat gue.

Adakalanya timbul pertanyaan-pertanyaan retoris dalam hati:

Bagaimana jika orang-orang menyangka kalau gue beneran Naga Lyla?

Bagaimana jika berdasarkan hasil survey ternyata ditemukan fakta bahwa ketampanan gue berada beberapa level di atas Naga Lyla, lalu semua fans-nya berpaling ke gue dan Naga Lyla dipecat band-nya untuk digantikan sama gue?

Bayangkan, betapa sibuknya gue nanti, dan privasi gue bakalan terganggu, ya kan?

*Hening gak ada respon*

Oke, lupakan!

Anggap saja gue sedang tersesat dan kehilangan arah di tengah padang pasir yang tak bertuan!

Mari kita beralih ke sari berita penting…

Kemarin, Manda, sepupu gue yang masih kelas 1 SMP, jatuh dari sepeda sampai patah tulang di pergelangan tangannya. Dia harus dioperasi sesegera mungkin agar tidak semakin bertambah parah. Beruntung ketika sampai Rumah Sakit PMI Bogor, dokter dan para perawat yang berkewajiban sudah siap siaga.

Setelah melalui beberapa prosedur standar, akhirnya tepat pukul 21.30 WIB operasi pun dimulai…

Gue, om dan tante gue, beserta beberapa koleganya menunggu dengan harap-harap cemas di ruang tunggu operasi.

Hawa dingin menyusup dari jendela rumah sakit yang sebagian terbuka. Menusuk tulang sumsum. Hujan deras disertai angin baru saja reda. Suasana lumayan hening. Untuk mengurangi/mengalihkan kekhawatiran om dan tante gue, para kolega yang hadir berinisiattif untuk mengajak ngobrol ringan seputar pekerjaan dan lain sebagainya. Biasalah obrolannya para senior.

Kronologis kejadiannya kurang lebih begini…

Sepulang sekolah, Manda langsung capcus ke tempat temannya yang tinggal di Bukit Cimanggu Villa. Namanya Felly. Mereka mengerjakan tugas kelompok yang diberikan oleh gurunya di sekolah seminggu lalu. Deadlinenya besok. Karena ada bahan yang kurang, mereka memutuskan untuk mencarinya di mini market terdekat menggunakan sepeda milik Felly. Belum jauh dari rumah Felly ketika melewati jalan menurun agak curam mereka terjatuh karena sepeda tidak bisa dikendalikan. Disinyalir remnya tidak berfungsi baik. Manda mencoba menahan sepeda dan Felly yang mengakibatkan tulang di pergelangan tangannya patah. Satpam kompleks yang melihat kejadiannya secara langsung secepat kilat menolong Manda dan Felly. Pak satpam segera menelepon tante gue yang nomornya dia minta dari Manda untuk memberitahukan perihal yang telah menimpa Manda. Tak berapa lama kemudian dengan diantar sopir pribadi, tante gue menjemput Manda untuk dirujuk ke rumah sakit guna penanganan lebih lanjut.

Di tengah perjalanan, Manda terus merintih menahan nyeri-perih…

Menurut dokter, operasi akan berjalan sekitar dua jam. Sekarang sudah satu jam berlalu. Untuk mengusir jenuh dan kantuk, gue menonton tivi yang ada di ruang tunggu operasi. Bioskop Trans TV sedang memutar film besutan Ben Stiller berjudul Tropic Thunder. Film bertemakan komedi aksi ini menceritakan tentang para pemain film perang yang tanpa disangka harus mengalami perang sesungguhnya dengan orang-orang Vietnam yang memproduksi ganja. Tropic Thunder pernah dinobatkan sebagai film komedi terlaris musim panas 2008.

Lagi asik ketawaketiwi menikmati kekonyolan para aktor di film Tropic Thunder, salah seorang kolega om gue mengajak gue keluar sebentar buat minum kopi di warkop terdekat.

Di warkop kolega om gue yang bernama pak Agus dari Mamuju-Sulawesi Barat itu ngajakin gue ngobrol ngalor-ngidul seputar bisnis yang mempunyai peluang untuk dikembangkan di Jawa. Mungkin karena sudah tidak tahan, beliau segera menyulut rokoknya dengan sangat terburu-buru. Sesekali dihembuskannya asap rokok dengan syahdu ditengah-tengah perbincangan kita. Secara tidak langsung gue jadi perokok pasif…#apes

Tak terasa setengah jam bergulir. Om gue ngasih tahu lewat telepon kalau operasinya sudah beres dan sekarang tinggal menunggu siumannya. Gue dan pak Agus segera beranjak ke ruang tunggu operasi untuk bergabung bersama mereka lagi.

Sesampainya di sana, gue disuruh pulang ke rumah om gue buat nungguin rumahnya karena mereka bakalan menginap di rumah sakit.

Di rumah, harapan gue bisa tidur pulas sirna sudah karena kafein yang merupakan senyawa kimia alkaloid yang juga dikenal sebagai trimetilsantin dengan rumus molekul C8H10N4O2 mulai bereaksi. Alhasil, mata gue menyala hingga subuh. Untung saja ada modem Smartfren. Jadinya tidak bengong-bengong amat. Internetan ngebut terus.
******************************************************************
Baru sebentar saja bisa tertidur, tante gue nelpon minta agar gue segera datang ke rumah sakit karena Manda mau dipindahin ruangannya.

Singkat cerita, setelah mandi, gosok gigi, ganti baju, semprot parfum beraroma cool, dan menata rambut, gue udah berada di kamar rawat sementara Manda pasca operasi. Rupanya sudah banyak tamu yang menjenguk. Karena kamarnya masih berbagi dengan pasien lain yang juga baru beres operasi, jadinya kelihatan sumpek. Gue kasihan sama sepupu gue, jadi kayak kena panick attack gitu saking kebanyakan tamu yang datang. Stress sendiri dalam kondisi masih dibilang baru siuman beberapa jam yang lalu. Dan yang aneh, salah satu tamu entah darimana malah mengabadikan moment sepupu gue yang lagi terbaring di ranjang rumah sakit tersebut dengan kamera. Ini maksudnya apa? Gue gak ngerti!

Gue keluar menuju lobi yang tidak jauh dari kamar sepupu gue dirawat sementara. Jam besuk masih tersisa sekitar tiga puluh menitan. Gue baca-baca koran yang ada di lobi sambil menunggu tamu habis. Bau khas rumah sakit yang menyeruak menusuk hidung dan bikin mual ini mengingatkan gue pada kejadian beberapa tahun silam. Ketika itu gue terpaksa dirawat selama lima hari di Rumah Sakit Katholik Dirgahayu-Samarinda-Kalimantan Timur karena keracunan air akar.

Ceritanya waktu itu gue dapat proyek survey dan pemetaan tingkat tinjau untuk persiapan pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit milik salah satu perusahaan swasta yang berkantor pusat di Jakarta Selatan. Lahannya ada di Muara Wahau, sebuah kecamatan di Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur. Berjarak kurang lebih 500 KM atau 10 jam perjalanan darat dari Samarinda dengan catatan tidak sedang/habis hujan. Banyak jalan dalam kondisi yang memprihatinkan. Lubang menganga sedalam 1-2 meter dan berlumpur kerap menjebak kendaraan yang melintasi jalan tersebut. Terutama di sekitar Ambur Batu – Bengalon. Suatu kawasan transmigrasi yang berada tidak jauh dari Sangatta. Kota kecil tempat salah satu pertambangan batu bara terbesar di pertengahan Samarinda – Muara Wahau. Kaltim Prima Coal

Hari itu gue menjalankan tugas mengambil sampel tanah sebagai bahan penelitian di laboratorium untuk mengetahui kandungan kimia dan jenis tanah yang ada di lokasi sehingga dapat diketahui perlakuan apa nantinya yang bisa mempengaruhi produksi.

Suhu udara di Kaltim panas banget. Selain karena sengatan matahari, mungkin juga karena pengaruh bahan tambang yang banyak terkandung di tanah Kaltim. Di tengah-tengah hutan belantara dengan topografi lipatan/bergelombang hingga berbukit-bukit dan sebagian rawa-rawa, membuat gue dan team sering minum. Tak dinyana, bekal air minum yang gue bawa ternyata tidak mencukupi. Anggota gue yang semuanya asli anak daerah situ sudah terbiasa. Mereka tidak bawa air minum dan tiap kali merasa haus tinggal memotong akar pohon yang mengandung air. Mereka meminumnya layaknya minum air aqua. Gue sendiri sebenarnya tidak terlalu asing dan pernah mencicipinya dulu ketika melakukan hal yang sama di Riau. Rasanya dingin nyes nyes gimana gitu. Melihat atraksi mereka memberikan sedikit kelegaan atas kekhawatiran bakal dehidrasi di tengah hutan.

Kombinasi ketidaktahuan dan ketidakcurigaan membuat gue berprasangka baik. Di satu titik gue sudah tidak sanggup lagi menahan haus. Gue langsung minum saja air akar yang sudah dipotongin sama salah satu anggota team. Leganya. Kerja pun berlanjut hingga tuntas tanpa ada gangguan berarti.

Di camp, sehabis mandi, ada rasa yang tidak enak di tenggorokan gue. Buat nelen sakit. Gejalanya kayak panas dalam. Gue minumin adem sari. Bukannya sembuh tapi rasa sakitnya makin meningkat. Tenggorokan gue seperti lengket. Suara gue jadi kacau seperti kaset pita kusut.

Gue mencoba menenangkan diri dengan minum air hangat. Awalnya lancar-lancar aja. Lama-kelamaan air yang coba gue telan balik lagi. Ada semacam gaya tolak dari tenggorokan. Gue beranjak ke kamar dan memilih tidur sambil berharap ketika bangun besok pagi ada Angelina Jolie di samping gue penyakit ini sudah hilang dengan sendirinya.

Tengah malam gue terbangun. Keringat menetes deras. Badan gue menggigil. Suara gue juga makin kacau. Teman sekamar gue, Pak Ratman, menawarkan diri mengantar gue ke puskesmas terdekat untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan.

Sekitar lima belas menitan kita menerobos dinginnya Muara Wahau menuju Puskesmas terdekat menggunakan motor Pak Ratman.

Jalanan sunyi. Gue khawatir ada perampok yang tiba-tiba menghadang. Karena tidak membawa banyak uang, satu-satunya pilihan paling realistis dan menguntungkan bagi mereka adalah menculik gue untuk ditawarkan ke agensi-agensi yang mengorbitkan model-model tampan #ngarep

Bisa dibilang Puskesmas ini seperti mini hospital. Ada beberapa kamar untuk merawat pasien yang terpaksa harus menginap. Entah karena sakitnya parah atau karena rumahnya sangat jauh.

Gue terpaksa mengganggu bu dokter yang mungkin sedang berasyik masyuk dengan suaminya di rumah dinas yang masih berada di area puskesmas. Setelah beberapa kali mengetuk pintu dengan sopan, bu dokter muda tersebut membukakan pintu. Rambutnya sedikit acak-acakan tapi malah membuatnya terlihat lebih bin… natang apa yang tiap malam diperas susunya?... di dasternya tampak bercak cairan kental menempel disana-sini yang gue asumsikan sebagai iler walaupun dari baunya gue tau itu bukan iler.

Gak usah dibahas lebih panjang lagi, yaa…

Bu dokter segera memeriksa gue dengan standar yang berlaku di bidang kedokteran. Hasil analisis menunjukkan bahwa gue keracunan sesuatu.

Gue pun menceritakan mengenai tindakan gue minum air akar di hutan siang tadi menggunakan tulisan karena sudah tidak bisa ngomong. Di sinilah gue tahu dari penjelasan bu dokter bahwa air akar ternyata ada yang beracun dan ada yang memang bisa dikonsumsi. Nah, ternyata gue meminum yang beracun.

Malam itu gue harus menginap di puskesmas. Bu dokter menyuntikkan antibiotik dan memasang infus karena gue sudah tidak bisa menelan sesuatu. Bahkan air sekalipun. Tidak berapa lama gue muntah-muntah. Mungkin obatnya mulai bekerja membasmi racun-racun yang singgah di tubuh gue. Terbukti setelah muntah kondisi gue jadi agak mendingan. Keringat mengucur deras tetapi sudah tidak disertai demam. Pak Ratman kembali ke camp dan mengirimkan salah satu anak buahnya, Jelly, nungguin gue di puskesmas.

Paginya, kondisi gue memang jauh lebih baik dari semalam. Walaupun masih belum bisa menelan sesuatu, pita suara dan tenggorokan sudah tidak terasa lengket. Akan tetapi di sekitar leher gue bengkak. Para sesepuh/ketua adat setempat yang ikut menjenguk bareng orang-orang yang bertanggung jawab atas proyek yang melibatkan gue membawakan kulit kayu yang dipotong kecil-kecil seukuran korek api. Ironisnya gue diharuskan memakan benda tersebut.

“Ndak apa-apa, pelan-pelan aja, ini kulit kayu berkhasiat.” Kata salah satu dari mereka dan diamini oleh semua yang hadir.

Meski sedikit ragu, gue pun mulai memamah. Sulitnya minta ampun. Buat mangap barang satu mili aja sakit. Demi menghargai niat baik si bapak dibarengi motivasi untuk sembuh gue berusaha keras.

Entah karena sugesti atau memang manjur beneran, setelah kulit kayu tersebut berhasil gue telan, tidak berapa lama gue merasa agak fresh. Suara gue sedikit demi sedikit mulai jelas meski masih serak-serak. Setidaknya gue tahu kalau suara gue tidak hilang. Tapi tetap saja bu dokter merujuk gue ke rumah sakit di Samarinda untuk dirawat lebih intensif mengingat peralatan medis yang ada di puskesmas belum terlalu memadai. Masih standar.

Bu dokter nawarin gue menggunakan ambulan milik puskesmas. Gue ogah. Menurut gue ambulan itu kendaraan paling horor di dunia. Apalagi ini bakal jadi long journey dari Muara Wahau sampai ke Samarinda. Gue butuh kendaraan yang nyaman. Akhirnya diputuskan pakai mobil Mitsubishi Strada L-200 yang ada di camp.

Jelly tetap ditugaskan menjaga gue. Sekitar pukul sebelas waktu setempat dengan diantar sopir kita berangkat menuju Samarinda.

Inilah perjalanan paling tak terlupakan. Gue duduk di samping sopir sambil megangin infus yang digantung di dekat pintu mobil sementara Jelly di belakang. Beruntung beberapa compact disc gue masih ada yang tertinggal di mobil. Diantaranya album unplugged-nya The Corrs, Oasis, Rialto, Savage Garden, dan OST. Alexandria-nya Peterpan menjadi teman perjalanan yang mengasikkan.

Kita sempat break sebentar di Sangatta untuk makan.

Jam sembilan malam kita sudah masuk Samarinda. Sempat terjadi sedikit kesalahpahaman di dekat lampu lalu lintas samping Mall Lembuswana. Seorang polisi lalu lintas mengejar kita karena menerobos lampu merah. Ketika tahu di dalam mobil ada orang sakit yang tak lain adalah gue, polisi tersebut jadinya malah mengawal kita sambil mencarikan jalan alternatif tercepat ke rumah sakit. Gue berterima kasih ketika sudah sampai Rumah Sakit Katholik Dirgahayu-Samarinda. Polisi tersebut menggangguk penuh wibawa ala Morgan Freeman sambil mendoakan gue agar lekas sembuh. Kita pun bersalaman.

Gue pantas bersyukur. Ketika sakit dan jauh dari keluarga, di kantor perwakilan Samarinda ada mbak Desy yang senantiasa menjenguk gue setiap pagi dan sore. Bersyukur ada Jelly yang bersedia menemani gue di rumah sakit sampai sembuh. Bersyukur gue bekerjasama dengan orang-orang yang loyal dan mengesampingkan birokrasi/hal-hal yang bersifat prosedural ketika menghadapi masalah urgent sakitnya gue.

Setelah dinyatakan sehat dan diperbolehkan pulang, gue meminta ijin cuti untuk memulihkan kondisi di Bogor.
******************************************************************
Nyalak hape dari kantong celana gue menyentak dan membuyarkan lamunan. Tante gue nelpon minta supaya segera ke kamar tempat sepupu gue dirawat karena tamu sudah pada pulang.

Sepupu gue baru boleh dipindahin setengah jam lagi karena bakal kamarnya untuk dirawat inap selanjutnya masih disterilisasi.

Waktu yang masih lumayan panjang gue manfaatin untuk memindahkan barang-barang om dan tante gue yang sudah kayak mau nginep di hotel. Satu persatu gue mengangkut barang-barang dari lantai 3 ke lantai 4 rumah sakit. Hitung-hitung sekalian membakar kalori. Naik turun tangga.

Sebenarnya ada lift juga, sih, tapi…

Di kamar yang baru ini, sepupu gue bisa beristirahat dengan nyaman. Ruangannya luas dan bersih. Privacy terjaga. Ber-AC dan ada TV-nya sebagai alternative hiburan untuk mengusir kebosanan saat masih dalam perawatan. Jadi tidak terasa seperti sedang di rumah sakit.

Dari balkon kamar rawat inap tampak matahari mulai menampakkan warna jingganya nan indah. Senja menjelang menjemput malam. Sepupu gue tertidur pulas. Mungkin karena pengaruh dari antibiotik yang disuntikkan oleh dokter beberapa jam yang lalu. Tante gue juga beristirahat. Lelah. Sudah dari semalam belum bisa tidur karena mengkhawatirkan anak semata wayangnya.

Setelah dirasa sudah tidak ada lagi yang perlu dilakukan, gue disuruh pulang untuk menjaga rumah…

Di depan lift sudah mengantri dua orang. Salah satunya suster manis berkerudung dan memakai pakaian dinas harian rok panjang yang juga bertugas merawat sepupu gue. Dia tersenyum melihat gue. Tadi kita sempat berinteraksi ketika memindahkan sepupu gue ke kamarnya yang sekarang. Jari-jemari kita juga sempat secara tak sengaja bertautan ketika menggotong sepupu gue dari ranjang lama ke ranjang yang baru.

Gue putusin ikut turun menggunakan lift mumpung ada temannya. Si bapak yang juga mengantri untuk turun memencet tombol angka 3, gue memencet tombol angka 1, mbak suster ikut aja. Asumsi gue dia juga turun ke lantai 1 entah itu untuk mengambil obat atau semacamnya.

Dugaan gue salah. Mbak suster ternyata juga turun di lantai 3 sama dengan bapak tadi…

Ketika dia hendak melangkah keluar bareng si bapak, gue segera memegang tangannya…

Deg! Dia terhenti, terkaget, dan menoleh sambil melihat pegangan tangan gue. Gue berusaha tenang dan menunjukkan sikap bukan bermaksud untuk tidak sopan. Seperti yang pernah gue ceritain di ‘Menorphobia’, bagi gue ini situasi yang sangat genting.

Dia melotot dan berusaha melepaskan cengkraman tangan gue…

Sambil melihat ke dalam matanya yang bening, gue memohon: “Mbak, temenin saya dulu sampai ke lantai 1 dong, saya phobia berada di dalam lift sendirian.”

Raut mukanya jadi berubah seperti hendak tertawa tapi sengaja ditahan.

“Ah!, Mas, norak!.” Balasnya sembari mencubit pipi gue. Glek.

Tanpa disadari kita terus bergandengan tangan sampai lanti 1. Sengaja apa keenakan?

Memang, kisah yang spontan dan singkat itu selalu berkesan.

Ssstt…,

Nama lengkapnya: Aline Liberty Florissantia

Nomor Hape: 08567676xxx

Rumahnya: Hmm… Kasih tau nggak yaa…







Kamis, 17 November 2011

Kekasih (தியான் פערמי סוקאַמטאָ)


Opening Act: Hugh Grant - Don't Write Me Off


Kekasih yang kupilih untuk tidak kumiliki

Kekasih yang kubiarkan bahagia bersama pujaannya

Kekasih yang masih selalu kurindukan sekalipun tak pernah kuharapkan lagi kehadirannya

Kekasih yang cinta tulus serta pengorbanannya takkan kulupakan



Dia menjelma menjadi yang pertama dan terakhir

Meski bukan yang benar-benar pertama hadir

Meski bukan yang benar-benar terakhir kutinggalkan

Kenangan bersamanya telah begitu mengisi dan berarti



Kekasih yang masih ingin kucium keningnya, matanya, bibirnya

Kekasih yang masih ingin kubelai rambutnya dan kupeluk mesra

Kekasih yang masih ingin kulindungi

Kekasih yang masih ingin kubisikkan mantra-mantra cinta sebelum tidurnya


Jakarta, 24 Oktober 2011

ไดอาน่า (Kamu Adalah Bintang Yang Tak Terjangkau Milyaran Tahun Cahaya Jauhnya)



Opening Act: The Corrs - Dreams (Unplugged)



ไดอาน่า

Aku suka sama kamu

Aku fallin' in love setiap melihatmu memakai rok panjang

Sangat wanita,

Simpel, natural, dan... ehm... manis.,

Tapi ya sudahlah.., anggap saja aku ini mengigau

Dan sebagai orang biasa, aku cukup tahu diri

Kamu adalah bintang yang tak terjangkau milyaran tahun cahaya jauhnya..,



Jakarta, 16 April 2011

Rabu, 16 November 2011

Tawuran





Kalau gue boleh menyebutkan satu dari sekian banyak hal yang paling gue benci di dunia saat ini, jawabannya adalah: MANTAN PACAR YANG NUSUK GUE DARI BELAKANG TAWURAN. Yeah!, tawuran telah menjelma menjadi wabah yang membahayakan bagi masyarakat Indonesia. Selain gizi buruk tentunya. Tawuran antar pelajar, mahasiswa, genk, kelompok masyarakat, komunitas tertentu, dan masih banyak lagi. Penyebabnya kadang sepele dan tidak masuk akal. Dan alasan paling klasik ialah atas nama harga diri individu/kelompok tertentu.

Sebenarnya ‘Harga Diri’ itu apa sih?

Menurut gue, harga diri adalah gambaran sikap seseorang/individu dalam menilai potensi dan atau kompetensi pada dirinya sendiri yang sifatnya implisit dan tidak diverbalisasikan. Gampangnya gini, sikap seseorang/individu dalam menilai eksistensi dirinya pada lingkungan sekitar. Harga diri akan dinilai positif jika seseorang/individu tersebut memberikan/menghasilkan/menciptakan/meng-create sesuatu yang bisa memberikan manfaat bagi orang banyak bahkan nusa dan bangsa. Dan, harga diri akan dinilai negatif jika yang dihasilkan oleh seseorang/individu tersebut berdampak buruk/memberikan kerugian besar bagi lingkungan sekitar.

Nah, selama ini yang menyebabkan tawuran adalah kesalah kaprahan dalam mengartikan/memaknai harga diri tersebut. Mereka (golongan yang hobi tawuran itu) menganggap sesuatu/tindakan dari orang/pihak lain yang tidak sesuai dan melukai perasaan selalu disamakan dengan menyinggung harga diri. Terjebak dalam pusaran ego diri. Maunya orang lain harus mengikuti kehendak kita dan tidak mau menerima kritik. Padahal perbedaan prinsip dan pendapat dapat memberikan wawasan baru jika mau menyikapinya dengan dewasa. Toh, manusia memang diciptakan untuk saling melengkapi satu sama lain. Oke, boleh lah debat tapi secara elegan. Tidak boleh mengedepankan emosi/sentimen pribadi melainkan akal sehat. Sehingga dapat tercipta harmoni hidup yang mengalun damai.

Mengingat manusia adalah tempatnya khilaf, gue juga bisa paham jika di satu titik tertentu tidak bisa mengendalikan emosi. Gue sendiri pastinya pernah/adakalanya/sering mengalami. Apalagi kalau terbayang mantan pacar yang lari bersama mantannya. Marah, berang, geram, gemas, gregetan, dongkol, jengkel, keki, kesal, sakit hati, letih, tenggorokan kering, sariawan, susah buang a.. eh! Lu panas dalam, yak?!

Hadeuuh! Nge-galau wae!

*Kenapa lu? Aneh banget!

Atau jangan-jangan...

Ciyyeeehhh... ada yang cemburu, neeh... qeqeqeqeqe... [*: Suara dalam hati ala sinetron]

Kagak lah! Ya gue heran aja, apa sih menariknya makhluk kurus item monyong berkumis nyuprus ala Duta Sheila On Seven ketimpuk pupuk kandang itu?

Gak ada yang lain apa? Yang lebih bagus gitu? Minimal yang gak jorok-jorok amat.

Emang gue akui, fisically gue jauh lebih unggul. Cuman satu: gue bukan orang tajir. Ya, secara gue hanyalah seorang pekerja freelance (catet ya: pekerja FREELANCE) di bidang Geographic Information System yang bermarkas di Jakarta-Bogor. Hobi backpacker dan bercita-cita pengen merasakan naik semua jenis/model kereta api di seluruh dunia. Selain jadi Astronaut tentunya.

Barangkali itulah penyebab utamanya, gue bukan orang tajir macem perabotan lenong berkarat itu #hiks

Cukup!

Back to the topic..

Heran, deh! kok jadi melenceng gini… sampai mana tadi pembahasannya?

Oiya. Penyelesaian masalah tidak harus dengan berantem. Tapi jika terpaksa berantem sebagai solusi terakhir, ya, lakukan secara ksatria: satu lawan satu. Kalau misal bawa pasukan juga harus diseimbangkan satu sama lain/disesuaikan dengan kebutuhan. Kemudian tentukan siapa lawan siapa. Yang penting jangan keroyokan. Bila perlu sewa wasit. Dengan catatan setelah adu otot selesai apapun hasilnya harus diterima secara fair. Biasanya cara seperti ini malah bisa menumbuhkan rasa persahabatan. Habis berantem jadi sahabat. Keren kan...

Atau pakai cara lain yang lebih asik dan menyehatkan: tanding futsal.

Dan membicarakan perihal tawuran, gue jadi ingat jaman masih SMA dulu…

Gue menghabiskan masa SMA di kota Madiun-Jawa Timur. Tepatnya di SMA 5 Madiun. Waktu SMA gue cupu banget dan sekolahan gue punya reputasi sebagai tukang tawuran. Asli. Musuh bebuyutan kita adalah SMA Cokroaminoto yang letaknya beberapa meter dari sekolahan gue. Hanya dipisahkan oleh anak sungai bengawan Solo-Madiun. Jadi kalau sudah terjadi tawuran seluruh aktivitas di kota Madiun langsung terganggu total sebagaimana halnya New York City mati lampu pas jam kerja.

Letak sekolahan gue emang strategis banget di jalan Mastrip…

Jalan Mastrip mempunyai julukan Heart Of Madiun City. Pusat kota Madiun. Disitu berdiri kompleks sekolahan unggulan mulai dari ujung: SMA 1, SMKN 2, SMA 3, SMA 5, SMA Cokroaminoto, dan ehm… Taman Bakti. Yang terakhir no comment. Kebetulan aja nyangkut. Di seberang depan sekolahan gue berdiri megah Stadion Wilis Madiun tempat perhelatan akbar sepakbola dari mulai kelas Walikota Cup sampai Liga Super Indonesia. Stadion yang pernah disewa sama salah satu klub peserta Liga Super Indonesia dari Pasuruan pada musim 2005/2006 an. Ketika itu klub tersebut diperkuat oleh pemain asal Liberia, Zah Rahan Krangar yang sekarang membela Persipura. Tidak jauh dari stadion tersebut merupakan kompleks perkantoran Pemerintah Kota Madiun. Sebelahnya lagi di sisi timur atau tepatnya di jalan Pendawa ada radio tempat gaulnya anak-anak muda Madiun dan sekitarnya. Seratus satu koma enam…. DCS FM. Moga aja theme songnya belum berubah pake Alamat Palsu-nya Ayu Ting Ting.

Pada moment-moment tawuran yang pernah terjadi, gue tidak pernah terlibat di dalamnya. Lebih tepatnya tidak mau melibatkan diri. Tentunya ini sangat berseberangan dengan teman-teman yang lain. Gue jadi dianggap tidak solider dan penakut. Terserah. Gue tidak peduli. Menurut gue tawuran itu apa yah… cemen. Kampungan. Ironis aja sebagai pelajar yang seharusnya pola pikirnya bisa lebih modern kerjaannya malah tawuran. Apa sih yang bisa dibanggakan dari tawuran. Lu dianggap jagoan, gitu? Hahahaha.. Jagoan Neon? Mana ada awards untuk tawuran? Yang ada cuman bikin celaka. Tidak sedikit pelajar yang meninggal sebagai korban tawuran.

Bicara tentang rivalitas antara SMA 5 Madiun dengan SMA Cokroaminoto Madiun yang sepertinya sudah mengakar, mendarah daging, terwariskan secara turun-temurun dari satu angkatan ke angkatan lainnya. Doktrin pertama yang didapat dari anak SMA 5 Madiun bukan Ke-Bhineka Tunggal Ika-an melainkan kondisi bahwa SMA Cokroaminoto adalah musuh utama yang harus diperangi. Begitu juga sebaliknya. Bukan rahasia lagi bagi masyarakat Madiun dan sekitarnya. Sudah jadi semacam Trademark-nya Kota Madiun selain nasi pecel yang super-super ajib dan telah mendunia itu.

Gue jengah dan hampir-hampir pengen pindah Negara aja. Tapi sahabat gue dengan sabar menjelaskan ke gue bahwa hujan batu di negeri sendiri masih jauh lebih baik ketimbang hujan emas di negeri orang #ngemeng.

Gue sendiri berteman dengan pelajar-pelajar dari sekolah lain. Sahabat gue yang bersekolah di SMA Cokroaminoto lumayan banyak juga. Salah satunya Bayu Gustomo (add di: bayudeoranje@ymail.com). Bahkan Bayu ini merupakan vokalis band-nya adik gue, Galih Budi Santoso (add di: galihbudijadoel@yahoo.com) yang mengusung lagu-lagunya Slank. Gue gak ikut di dalamnya karena beda aliran. Waktu itu gue suka bawain lagu-lagunya Oasis, Rialto, Suede, GreenDay, Nirvana, Andy Lau, F4, halah…, bareng –add di: Gringgo Reckorner, Yudo Astro Notme, dan Dede Unlimo.

Gue bareng beberapa sahabat dari SMA lain termasuk Cokroaminoto sempat saling curhat mengenai kondisi yang memprihatinkan di dunia pendidikan khususnya di kota kami… (iye, tawuran emang suka ada dimana-mana). Dalam obrolan ringan sambil minum kopi di lesehan samping Stadion Wilis tersebut sempat terlintas di benak untuk membentuk boyband aja (hah! Lu kate gue Justin Timberlake). Tapi akhirnya gak jadi. Lagian siapa juga yang mau memproduseri sekumpulan bocah labil galau tak bermasadepan kayak kite-kite. Bisa rugi bandar.

Satu lagi yang mengundang kegelisahan gue. Di Madiun berdiri pusat dua perguruan pencak silat terbesar –mungkin- di Indonesia, yaitu: Persaudaraan Setia Hati Winongo dan Persaudaraan Setia Hati Terate. Penganut ideologi kedua persaudaraan tersebut merupakan yang terbanyak di Madiun dan sekitarnya.

Kedua PSH tersebut mempunyai sejarah yang saling berkaitan. Atau malah bisa diibaratkan sebagai saudara kandung karena berdasarkan beberapa literature dari berbagai sumber yang gue baca, kedua PSH tersebut lahir dari seorang bernama Ki Ngabehi Soerodwirjo yang familiar dengan sebutan Eyang Suro. Eyang Suro ini awalnya memprakarsai pencak silat bernama Djojo Gendilo Tjipto Muljo yang didirikannya pada tahun 1903 di Tambak Gringsing, Surabaya. Suatu ketika beliau kecewa karena atasannya yang seorang Belanda itu sering tidak menepati janji dalam banyak hal berkaitan dengan kerja dan karirnya. Saat itu beliau menjabat sebagai Polisi Dienar hingga mencapai pangkat Sersan Mayor. Mereka juga mencurigai Eyang Suro pernah melempar seorang pelaut Belanda ke sungai dan tentunya kekuatan massa dari perguruan silat yang beliau dirikan tak luput dari kekhawatiran Belanda. Situasi makin tidak kondusif, Eyang Suro memilih keluar dan pergi ke Tegal-Jawa Tengah ikut seorang paman yang menjabat sebagai Opzichter Irrigatie.

Pada tahun 1914, Eyang Suro kembali ke Surabaya dan bekerja di Jawatan Kereta Api Kalimas. Setahun kemudian, 1915, Eyang Suro pindah ke Bengkel Kereta Api Madiun (sekarang PT. INKA Madiun). Disinilah, setelah beberapa tahun vakum karena banyak hal yang mengganggu, pencak silat Djojo Gendilo Tjipto Muljo mulai aktif kembali. Sekitar tahun 1917, setelah melakukan demo terbuka di alun-alun Kota Madiun, perguruan asuhan Eyang Suro mulai mendapatkan hati dan menjadi popular di kalangan masyarakat Madiun. Alhirnya Eyang Suro mengganti nama Djojo Gendilo Tjipto Muljo dengan Setia Hati.

Demi memperluas ideologi ke-Setia Hati-annya agar dapat diterima oleh semua kalangan. Pada tahun 1922, salah seorang murid Setia Hati paling militan bernama Ki Hadjar Hardjo Oetomo mendirikan Persaudaraan Setia Hati Terate. Pada awalnya nama Setia Hati Terate adalah Pencak Silat Club karena Eyang Suro belum memperkenankan Ki Hadjar menggunakan kata ‘Setia Hati’ dulu sebagai nama perkumpulan yang dia dirikan. Dalam ajarannya, Ki Hadjar Hardjo Oetomo menanamkan suatu sikap hidup ‘Tidak mau menindas orang lain dan tidak mau ditindas orang lain’. Dari waktu ke waktu pengikut PSC semakin banyak dan Ki Hadjar meminta restu agar menggunakan nama ‘Setia Hati’. Eyang Suro mengijinkan akan tetapi harus ada kata lain setelah Setia Hati. Ki Hadjar memutuskan menggunakan nama Setia Hati Muda. Hingga akhirnya Eyang Suro wafat pada 10 November 1944 meninggalkan seorang istri dengan mewakafkan sebagian pekarangan rumahnya untuk dijadikan base camp Setia Hati. Jasad beliau dimakamkan di desa Winongo-Madiun-Jawa Timur.

Pasca meninggalnya Eyang Suro muncul konflik yang berpangkal dari salah penafsiran dan klaim kebenaran/orisinalitas ideologi ke-Setia Hati-an yang dimotori oleh dua murid paling tangguh yang diharapkan bisa mengayomi pengikut Setia Hati menjadi insan-insan yang bijaksana dan berguna dalam lelaku hidup di masyarakat. Pertentangan ideologi tersebut mengakibatkan perpecahan di tubuh Setia Hati menjadi dua kubu/wilayah teritorial. Setia Hati di desa Winongo sehingga menjadi Setia Hati Winongo dan Setia Hati Muda di desa Pilangbangau yang bertransformasi menjadi Setia Hati Terate.

Konflik terus memuncak dan mengakar sampai sekarang. Menciptakan teror menakutkan bagi masyarakat Madiun dan sekitarnya. Saling serang dan saling menyalahkan. Masing-masing mempertahankan ideologinya. Hubungan kedua perguruan pencak silat ini semakin tidak sehat karena tak jarang dimanfaatkan oleh elit-elit politik dalam menjaring massa untuk melanggengkan tujuan politisnya dan merebut/memperluas basis ekonomi. Perbedaan kasta juga mewarnai jagad pertikaian dari kedua kubu. SH Winongo tumbuh dalam lingkungan bangsawan dan priyayi di perkotaan sedangkan SH Terate tumbuh dalam lingkungan orang biasa di pedesaan. Seiring berjalannya waktu kedua SH tersebut berkembang mengikuti kultur masyarakatnya.

Gue ingat, setahun sekali di Madiun ada karnaval dalam rangka merayakan HUT kemerdekaan RI. Pawai tersebut umumnya diisi oleh marching band, sepeda hias, pakaian adat Sabang sampai Merauke dari berbagai tingkatan sekolah. Mulai TK, SD, SMP, SMA. Waktu itu gue dipilih untuk mendemonstrasikan ketampanan gue #gakpenting. Selain itu juga ada dari PNS, Universitas-Universitas, Komunitas-Komunitas, dan tak ketinggalan SH Winongo dan SH Terate juga terlibat dalam karnaval tersebut. Suasana bukannya jadi meriah dan menyenangkan. Akan tetapi jadi menegangkan karena keduanya tak pernah lepas dari pertikaian. Dimana pun. Tidak peduli dalam kondisi/even apapun. Baru sampai start aja udah lempar-lemparan batu. Beres karnaval… jangan tanya, deh.

Gue yakin, mereka yang menerima ajaran tersebut, entah karena masih labil, masih terlalu muda, belum dewasa, temperamental, atau dipengaruhi dendam sehingga tidak tertanam seutuhnya. Istilahnya ideologi buta. Ujung-ujungnya jadi provokator. Hal sepele dibesar-besarkan.

Bibit-bibit inilah yang sedikit banyak menyusupi penyebab tawuran pelajar yang melibatkan sekolah gue.

Ada berita yang mengatakan bahwa sekolah gue merupakan basis SH Winongo dan SMA Cokroaminoto merupakan basis SH Terate.

What the...

Dengar ya...

Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai perbedaan dan menjunjung tinggi persamaan harkat-derajat manusia.

Pribadi unggul adalah yang mampu dan mau memikirkan dampak dari tindakannya.

Bukankah penggagas kalian jauh sebelum nama Winongo dan Terate muncul telah mengajarkan mengenai Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Al`amru bil-ma'ruf wannahyu'anil-mun'kar adalah frase dalam bahasa Arab yang maksudnya sebuah perintah untuk mengajak atau menganjurkan hal-hal yang baik dan mencegah hal-hal yang buruk bagi masyarakat. Jelas bukan?

Atau jangan-jangan kalian tidak pernah paham arti/maknanya? Apalagi mengamalkannya?

Bukankah selain mengajarkan olah raga dan kanuragan, penggagas kalian mempunyai visi dan misi ikut serta dalam memelihara dan membangun ketertiban, keamanan, serta keselamatan Negara/Dunia (Memayu Hayuning Bawono)?

Bukankah sebelum wafat, penggagas kalian, Ki Ngabehi Soerodwirjo berpesan agar saudara-saudara Setia Hati tetap bersatu dan rukun lahir bathin?

Mulai sekarang, siapapun kalian, apapun status kalian, apapun label kalian, entah itu Winongo, Terate, SMA 5, SMA Cokroaminoto, dan SMA-SMA lain di Madiun, berjiwa besarlah untuk berdamai dan bersatu demi ke-kondusif-an tata kehidupan khususnya di Madiun dan sekitarnya sehingga menjadi inspirasi bagi generasi-generasi muda lainnya di seluruh Indonesia bahkan dunia.

Gue nggak bermaksud sok tahu atau sok pinter, gue yakin Madiun punya potensi wisata sejarah yang besar. Kedua perguruan pencak silat ini bisa jadi daya tarik wisatawan baik dari dalam maupun luar negeri untuk belajar dan mengenal. Siapa tahu dari sini bisa mendapatkan nafkah yang berkah. Bukan bermaksud mengkomersilkan tetapi hal tersebut bisa menjadi salah satu langkah untuk melestarikan budaya daerah. Kalian bisa jadi master pencak silat dan keliling Indonesia bahkan dunia atas rekomendasi dari wisatawan-wisatawan yang pernah datang. Udah banyak kok yang bisa seperti itu. Positif dan lebih menjanjikan bukan?

Dan buat yang masih sekolah, belajarlah yang rajin agar masa depan kalian terjamin. Terserah kalian mau ikut pencak silat yang mana, poin terpentingnya adalah jalankan ajaran seutuhnya dengan bijaksana dan rangkulah kawan apapun latar belakangnya.

Lu pikir siang malam nyokap bokap lu cari nafkah sampai jungkir balik buat apa?

Sekolah lu, Man!

Dan lu pernah dengar do’a mereka?

Segalanya buat lu!

Buat mereka prestasi lu di sekolah merupakan kebanggan tiada tara melebihi apapun. Mereka tidak minta apa-apa selain itu. Maka dari itu berbaktilah. Hargai jerih payah mereka. Tiap bulir keringat yang menetes adalah harapan.

Sekali lagi , sekarang bukan jamannya TAWURAN!

Akhiri tradisi TAWURAN!

BerPrestasilah di bidang yang kalian suka dan kuasai.

Hidup Madiun! Hidup Indonesia!

Bhineka Tunggal Ika

I love you All