Jumat, 18 Maret 2011

Peran Lingkungan Yang Mempengaruhi Tumbuh Kembangnya Perilaku Manusia


Opening Act: Ode To My Family by The Cranberries



Abstract
Adi Ankafia*
Katakanlah untuk mencapai Planet yang berjarak satu tahun cahaya (300000 Km/Detik) dari Bumi dibutuhkan waktu satu detik dan kita menggunakan kendaraan dengan kecepatan 600000 Km/Detik maka kita akan sampai dalam waktu setengah detik. Apabila Rotasi di Planet tersebut adalah satu hari sama dengan 500 tahun Bumi dan kita memutuskan kembali lagi ke Bumi setelah sepuluh hari berleha-leha disana menggunakan kendaraan yang sama dengan kecepatan yang sama pula maka dapat dipastikan ketika sampai ke Bumi kita sudah melihat evolusi yang sudah terjadi selama 5000 tahun dan umur kita hanya bertambah 10 hari 240 Jam 14400 Menit 864000 Detik + 1 Detik akumulasi dari waktu keberangkatan dan perjalanan kembali ke Bumi. Great!.

(*: Filsuf Astronomi dari NASA yang sedang mengambil studi Agribisnis di Institut Pertanian Bogor)

Sebelumnya gue mo nanya ama kalian semua…, 


Bagaimana sifat sumbangan/amal?.

Sukarela kan..?.

Artinya untuk melakukan sesuatu yang bernama menyumbang/beramal itu, individu/kelompok gak boleh ada paksaan dari diri sendiri maupun pihak lain. Semua harus dilandasi keikhlasan hati karena kegiatan tersebut merupakan bagian dari ibadah.

Lalu bagaimana kalo menyumbang/beramal itu dipaksa?.

Nah, inilah yang gue masih bingung sobat-sobat tercinta yang tersebar di seluruh penjuru tanah air yang gemah ripah loh jinawi ini. Kebanyakan kata penghubung “yang”. Bodo’, yang penting maksud bisa tersampaikan.

Jujur ini terjadi di salah satu swalayan terkemuka di kota tempat gue berdomisili sekarang sebagai mahasiswa jenius yang tergila-gila ama ASTRONOMI. BOGOR!.

Swalayan yang namanya sama kayak temennya Suneo di film kartun Doraemon itu sering narik sumbangan dari para pembeli dengan “paksa”.

Ilustrasi:
Hari itu cuaca di Jakarta lumayan panas banget. Gue kegerahan dan ngeluarin keringat banyak gilak pas nunggu kereta Pakuan Ekspress tujuan Bogor di Stasiun Gambir. Dampaknya fatal!. Gue jadi kehausan setengah mati. Hampir mendekati dehidrasi. Beruntung kereta yang gue tunggu-tunggu segera datang. Gue buru-buru menghambur ke dalam kereta dan duduk dengan manis di salah satu sudut bangku kereta yang pas banget di bawah AC-nya. Hmmm.., semilir angin yang berhembus dari AC untuk sejenak telah menyamarkan kehausan yang teramat sangat. Keringat yang membasahi serta bau sengak (kayak lu,.. sengak!.) perlahan mengering dan memudar disapu angin dari AC kereta. Gue menikmati perjalanan pulang kerja sambil mendengarkan lagu-lagunya Oasis dari walkman (halah!, gak ada yang lebih jadul lagi mas?!, radio merek Cawan misalnya.., radio jamannya mbahmu masih pake celana cutbray dengan rambut gondrong ala Mus Mujiono.). Maksud gue iPOD. Dan kalian tau kan, fluktuasi suhu itu bisa sangat menipu anda sodara-sodara. Gini, beberapa diantara kalian pasti pernah jadi Mahasiswa Pecinta Alam yang kerjaannya naik-turun-naik-turun+PIPIS & BOKER SEMBARANGAN di gunung kan. Kalian pasti pernah ketika sampai di sekitar bahu gunung hampir mendekati puncak lalu memilih beristirahat sejenak untuk sekedar bikin kopi/teh+minum arak/ngisep ganja buat ngangetin badan. Kopi/teh yang telah siap dan sedang anda seduh dalam waktu sekejap menjadi dingin sehingga anda meminumnya dengan lahap sangat. Sejauh anda berjalan hingga bisa menikmati sensasi sunrise dari puncak gunung segalanya masih baik-baik saja. Sampai pada akhirnya anda berada di rumah masing-masing beberapa hari kemudian dan mendapati tenggorokan anda kesakitan seperti habis terbakar. Nah!, ini sama. Pas gue sampai Bogor, begitu turun dari kereta, sejak langkah pertama memijak bumi rasa haus itu justru malah semakin mendera1. Sialnya, semua minimarket yang ada di sekitar stasiun pada tutup semua. Pegawainya pada cuti (asumsi: 3 hari menjelang lebaran). Gue mulai berpikir dimana gue bisa mendapatkan air mineral kemasan dalam waktu cepat sebelum gue tumbang di pinggir jalan dan meleleh seperti lilin. Gue segera berlari memanfaatkan sisa-sisa energi menuju tempat mangkal angkot 03 yang akan membawa gue ke Botani Square. Mall yang ada di dekat kampus gue. INSTITUT PERTANIAN BOGOR (suit.. suit.., hidup IPB!, hidup IPB!.., jayalah selalu IPB!… IPB di DADAKU-IPB KEBANGGAANKU!-Ku yakin kan me-raih predikat WORLD CLASS UNIVERSITY!).

[1. : Anjritt!. Bahasa gue Katon Bagaskara abis!.]

Bravo. Alhamdulilah. Segala puji bagi semesta yang telah memelihara keseimbangan alam sehingga gue sampai di Botani Square dalam kondisi yang masih mampu berjalan menuju swalayan yang udah gue maksud tadi dan segera memilih salah satu air minum kemasan yang telah diproses menggunakan teknologi canggih.


Dengan langkah gontai gue menuju kasir. Gue hampir-hampir aja tersungkur membawa beban seberat 500 ML itu.

Gue mulai mengantri...

Resah. Karena di depan gue beli satu batang sabun mandi aja bayarnya pake CREDIT CARD. Anj…!.

Suara adzan mulai menggema. Saatnya berbuka puasa. Dan gue masih dibelakang pelanggan sok pake CREDIT CARD sial itu.

Beberapa hari (halah!) menit kemudian ding.., sorry, sorry, efek dari dehidrasi stadium 1.

Giliran gue… tereeeeeetttt…..

Kasir nunjukin jumlah uang yang harus gue rogoh dari kocek untuk sebuah air kemasan 500 ML.
Rp. 1690,-

Gue ngeluarin duit Rp. 2000 rupiah sembari ngasih tau kalo gak usah diplastikin sama kasirnya.

Kasir mengerti dan menerima uang halal hasil gue membanting tulang lalu bilang:

“Maaf Mas, kembalian Rp. 300 rupiah-nya boleh disumbangin?.”. Yeah!. Untuk kesekian kalinya gue harus terlihat seperti orang cengoh (lagi) menghadapi pertanyaan tersebut. Dilema, man!. Gue yakin, gak cuman gue aja. Kalian kalo dihadapkan pada situasi-kondisi semacam ini pastinya tidak mungkin menjawab:

“Oh, tidak boleh mbak karena Rp. 300,- ini berarti banget buat hidup saya selanjutnya.” Atau

 “Jangan mbak, Rp. 300,- ini saya pake buat tambah-tambah nyicil kreditan Blackberry saya.” Atau apalah. Something like that.

Jangkrik!. Ini bukan masalah jumlahnya, bung. Ini masalah hak konsumen untuk mendapatkan pelayanan yang layak, salah satunya adalah mendapat kembalian dari pembelian barang yang seharusnya. Jujur, kadang gue ngerasa ini jadi kayak premanisme yang dibalut dengan rapih dalam tataran bisnis retail ala swalayan. Memang di swalayan tersebut ada propagandanya juga. Seperti gambar-gambar mengenai bencana alam, kekurangan gizi, krisis air, dll. Tapi konsep agar kita –konsumen- ikut andil dalam meyukseskan program-program pemberdayaan tersebut sangat keliru. Harusnya swalayan tersebut cukup bikin box kayak kotak amal dan ditempatkan pada sudut-sudut strategis.

Gue yakin. Kalo orang udah mau nyumbang/beramal cukup ngelihat gambar-gambar propaganda yang ada. Termenung. Lalu menangis terharu. Trus ngeluarin dompetnya dan dimasukkan ke box tersebut. 

Tapi lubangnya kan kecil. Cuman cukup buat selembar duit –maksimal- Rp. 100000,-.

Congkel dulu mas…, trus taruh dompet beserta isi-isinya.. setelah itu pergi sholat sana!. Dan jangan lupa untuk menghapal Qur’an!!.

Halah!, mo nyumbang/beramal aja ribet amat!.

Gue sering baca di buku/majalah/Koran, orang-orang yang dermawan/filantropis abis gak perlu diminta-minta tiba-tiba orang-orang semacam ADI ANKAFIA itu pergi/mengembara meninggalkan bisnis dan segala kejayaan duniawinya ala Che Guevara yang zodiacnya sama ama gue (penting ya.._) ke suatu tempat/lokasi/daerah/desa/Negara yang terkena musibah atau yayasan-yayasan yang menampung mereka-mereka yang kurang beruntung lalu meninggalkan harta/materi yang bermanfaat bagi keberlangsungan hidup mereka secara fisik dan psikis.

Kadang orang-orang semacam itu tiba-tiba menculik seorang dokter dan membawanya ke rumah sakit tempat dokter tersebut bekerja. Dia pegang pundak dokter itu, sambil menatap tajam ke arah mata si dokter dengan maksud menggugah empati, dan berkata: 

“Dok, saya akan mendonorkan darah saya untuk para penderita leukemia.., silakan ambil darah saya seperlunya sesuai ketentuan yang berlaku.”

Untuk sejenak si dokter terbengong-bengong akan semangat si filantropis yang tidak ingin disebutkan namanya tersebut. Lalu dia menjawab:

“Tapi mas, saya kan dokter HEWAN.., gak punya peralatan untuk pengambilan darah dari donoris (what it is?,, bener gak sih istilahnya begini?)”. Diiringi gelak tawa berbagai jenis binatang yang terbaring sakit di bangsal-bangsal yang mengelilingi mereka berdua. Harapan sembuh jadi meningkat.

Damn!, mimpi buruk macam apa lagi nih!. Kemudian si filantropisman segera kabur meninggalkan kolornya untuk menghipnotis mereka biar lupa ama kejadian yang memalukan ini.

Ironis memang. Di retail-retail/warung-warung kompleks perumahan, bahkan untuk jumlah terkecil pengembalian tetap diserahkan kepada pembeli/konsumen. Toh, terkadang tanpa diminta, konsumen bakal ngelupain kembalian yang gak seberapa itu.

Misal:
Suatu pagi, seorang ibu pergi ke retail kecil di sekitar kompleks perumahan tempat dia bersama suami dan anak-anaknya tinggal untuk membeli satu kilo telur dengan harga @Rp. 4800,-. Ibu itu menyerahkan uang Rp. 5000,-.

“Uangnya Rp. 5000,- ya bu,, berarti kembalianny…”

“Udah ambil aja mbak..” Diiringi senyum tulus khas ibu-ibu kompleks perumahan yang masih muda dan tetap sexy walaupun udah punya 3 anak.

Tentunya ini sangat beda sensasinya jika jumlah yang tak seberapa itu diminta secara paksa dengan cara yang halus seperti yang terjadi di swalayan yang gue ceritain ini. Awalnya biasa aja - lama-lama jengah juga.

Gue ngerti. Tujuannya emang baik. Mulia bahkan. Tapi hal-hal yang mulia itu tidak bisa didatangkan secara paksa. Ada semacam proses yang mengarah pada penemuan hidayah pada diri seseorang sehingga hal mulia tersebut akan dilakukannya dari dasar hati yang terdalam secara total-semata-mata karena ibadah-hanya mengharap ridho-NYA/SANG PENCIPTA.

Apa mungkin sudah sedemikian bekunya hati spesies yang disebut manusia ini seiring semakin berkembangnya teknologi yang bermuara pada individualistis tingkat tinggi.

Man.., sikap Invidualistis yang tumbuh itu menurut gue merupakan efek dari adaptasi lingkungan. Iya, lingkungan mempengaruhi tumbuh kembangnya perilaku seseorang. Pada akhirnya ketika kita berada di tengah kesunyian dan sendiri… kita akan sadar. 

Mmm… secara teoritis.., gimana ya meng-analogikan-nya..,

Begini:
Studi kasus dilakukan oleh seorang professor di bidang psikologis yang ingin membuktikan signifikansi pengaruh lingkungan terhadap perilaku individu dengan cara menculik sepuluh preman paling ditakuti dari beberapa kota dan dimasukkan didalam ruang isolasi. Di ruangan tersebut disediakan fasilitas TV Plasma 32 Inchi. Kemudian kesepuluh preman tersebut disuguhi DVD satu musim Mellowdramatic Korean semacam Sorry, I Love You... (yeah!!, Sorry, I Love You.., pengalaman pribadi cinta bertepuk sebelah... SETAN!!.)

Di ruangan tersebut crew professor secara rahasia meletakkan bebarapa CCTV dari berbagai angle untuk mengamati perilaku mereka di ruang isolasi itu.

Dan hasilnya sungguh menakjubkan, man!.

Pada saat menonton DVD tersebut, pada beberapa episode yang mengharukan, Sembilan dari kesepuluh preman itu berhasil menangis, bahkan lima diantaranya bisa dikatakan masuk ke dalam kategori muntah air mata. Hanya satu yang masih terlihat tegar dan itupun matanya sudah sangat berkaca-kaca.

Ketika ditanya:
“Bagaimana perasaan anda?.”

Preman itu tidak sanggup lagi berkata-kata. Yang dia lakukan hanya menenggelamkan mukanya ke bantal bermotif Pinky Strawberry.

Sekali lagi…
Biarkan kita dan semuanya melihat, mendengar, dan merasa dengan mata-dengan hati…..
Biarkan empati itu tumbuh dengan sendirinya, sehingga kita tahu hakikat kita sebagai manusia yang seutuhnya dalam ketidaksempurnaan untuk saling mengisi ruang-ruang yang masih kekurangan.
Bogor, 16 April 2010







1 komentar:

  1. kalo sy dgn yakin bilang gak, lebih parah lagi klaim pizza hut (khusunya yg di botani square bogor)tuh 30 % anak 2x di Indonesia kurang gizi; jelek 2x dinas kesehatan itu bagian NKRI; berani amat ngehina kinerja pemerintah NKRI di depan umum gitu (punten boleh bilang an**ng gak?); ita*** makan ny otak nya semplak kalo gua bilangin AB** di takol gak yah tuh yg punya; biar gua gak cinta 2x amat ama NKRI (banyak moral hazard dan gap sosial yg celakanya q terlahir di bagian yg gak enak); tp gua gak suka dihina

    BalasHapus