Opening Act: http://www.youtube.com/watch?v=zsGdEiYbK-o
“Di, barusan gue nonton film Ayah, Mengapa Aku Berbeda? di Botani XXI sama cowok gue, pas gue liat si Naga Lyla, ternyata sekilas dia mirip sama lu, yah!”
Siti Nuraini/Pelaku usaha sekaligus teman kuliah di IPB
Sudah tidak terhitung lagi berapa banyak teman-teman gue yang pernah mengatakan hal serupa sebelum-sebelumnya.
Dan Siti Nuraini adalah salah satunya…
Haruskah gue bahagia lalu menjadi sedikit jumawa?
Jujur, kadang statement semacam itu malah memberikan beban secara psikologis buat gue.
Adakalanya timbul pertanyaan-pertanyaan retoris dalam hati:
Bagaimana jika orang-orang menyangka kalau gue beneran Naga Lyla?
Bagaimana jika berdasarkan hasil survey ternyata ditemukan fakta bahwa ketampanan gue berada beberapa level di atas Naga Lyla, lalu semua fans-nya berpaling ke gue dan Naga Lyla dipecat band-nya untuk digantikan sama gue?
Bayangkan, betapa sibuknya gue nanti, dan privasi gue bakalan terganggu, ya kan?
*Hening gak ada respon*
Oke, lupakan!
Anggap saja gue sedang tersesat dan kehilangan arah di tengah padang pasir yang tak bertuan!
Mari kita beralih ke sari berita penting…
Kemarin, Manda, sepupu gue yang masih kelas 1 SMP, jatuh dari sepeda sampai patah tulang di pergelangan tangannya. Dia harus dioperasi sesegera mungkin agar tidak semakin bertambah parah. Beruntung ketika sampai Rumah Sakit PMI Bogor, dokter dan para perawat yang berkewajiban sudah siap siaga.
Setelah melalui beberapa prosedur standar, akhirnya tepat pukul 21.30 WIB operasi pun dimulai…
Gue, om dan tante gue, beserta beberapa koleganya menunggu dengan harap-harap cemas di ruang tunggu operasi.
Hawa dingin menyusup dari jendela rumah sakit yang sebagian terbuka. Menusuk tulang sumsum. Hujan deras disertai angin baru saja reda. Suasana lumayan hening. Untuk mengurangi/mengalihkan kekhawatiran om dan tante gue, para kolega yang hadir berinisiattif untuk mengajak ngobrol ringan seputar pekerjaan dan lain sebagainya. Biasalah obrolannya para senior.
Kronologis kejadiannya kurang lebih begini…
Sepulang sekolah, Manda langsung capcus ke tempat temannya yang tinggal di Bukit Cimanggu Villa. Namanya Felly. Mereka mengerjakan tugas kelompok yang diberikan oleh gurunya di sekolah seminggu lalu. Deadlinenya besok. Karena ada bahan yang kurang, mereka memutuskan untuk mencarinya di mini market terdekat menggunakan sepeda milik Felly. Belum jauh dari rumah Felly ketika melewati jalan menurun agak curam mereka terjatuh karena sepeda tidak bisa dikendalikan. Disinyalir remnya tidak berfungsi baik. Manda mencoba menahan sepeda dan Felly yang mengakibatkan tulang di pergelangan tangannya patah. Satpam kompleks yang melihat kejadiannya secara langsung secepat kilat menolong Manda dan Felly. Pak satpam segera menelepon tante gue yang nomornya dia minta dari Manda untuk memberitahukan perihal yang telah menimpa Manda. Tak berapa lama kemudian dengan diantar sopir pribadi, tante gue menjemput Manda untuk dirujuk ke rumah sakit guna penanganan lebih lanjut.
Di tengah perjalanan, Manda terus merintih menahan nyeri-perih…
Menurut dokter, operasi akan berjalan sekitar dua jam. Sekarang sudah satu jam berlalu. Untuk mengusir jenuh dan kantuk, gue menonton tivi yang ada di ruang tunggu operasi. Bioskop Trans TV sedang memutar film besutan Ben Stiller berjudul Tropic Thunder. Film bertemakan komedi aksi ini menceritakan tentang para pemain film perang yang tanpa disangka harus mengalami perang sesungguhnya dengan orang-orang Vietnam yang memproduksi ganja. Tropic Thunder pernah dinobatkan sebagai film komedi terlaris musim panas 2008.
Lagi asik ketawaketiwi menikmati kekonyolan para aktor di film Tropic Thunder, salah seorang kolega om gue mengajak gue keluar sebentar buat minum kopi di warkop terdekat.
Di warkop kolega om gue yang bernama pak Agus dari Mamuju-Sulawesi Barat itu ngajakin gue ngobrol ngalor-ngidul seputar bisnis yang mempunyai peluang untuk dikembangkan di Jawa. Mungkin karena sudah tidak tahan, beliau segera menyulut rokoknya dengan sangat terburu-buru. Sesekali dihembuskannya asap rokok dengan syahdu ditengah-tengah perbincangan kita. Secara tidak langsung gue jadi perokok pasif…#apes
Tak terasa setengah jam bergulir. Om gue ngasih tahu lewat telepon kalau operasinya sudah beres dan sekarang tinggal menunggu siumannya. Gue dan pak Agus segera beranjak ke ruang tunggu operasi untuk bergabung bersama mereka lagi.
Tak terasa setengah jam bergulir. Om gue ngasih tahu lewat telepon kalau operasinya sudah beres dan sekarang tinggal menunggu siumannya. Gue dan pak Agus segera beranjak ke ruang tunggu operasi untuk bergabung bersama mereka lagi.
Sesampainya di sana, gue disuruh pulang ke rumah om gue buat nungguin rumahnya karena mereka bakalan menginap di rumah sakit.
Di rumah, harapan gue bisa tidur pulas sirna sudah karena kafein yang merupakan senyawa kimia alkaloid yang juga dikenal sebagai trimetilsantin dengan rumus molekul C8H10N4O2 mulai bereaksi. Alhasil, mata gue menyala hingga subuh. Untung saja ada modem Smartfren. Jadinya tidak bengong-bengong amat. Internetan ngebut terus.
******************************************************************
Baru sebentar saja bisa tertidur, tante gue nelpon minta agar gue segera datang ke rumah sakit karena Manda mau dipindahin ruangannya.
Singkat cerita, setelah mandi, gosok gigi, ganti baju, semprot parfum beraroma cool, dan menata rambut, gue udah berada di kamar rawat sementara Manda pasca operasi. Rupanya sudah banyak tamu yang menjenguk. Karena kamarnya masih berbagi dengan pasien lain yang juga baru beres operasi, jadinya kelihatan sumpek. Gue kasihan sama sepupu gue, jadi kayak kena panick attack gitu saking kebanyakan tamu yang datang. Stress sendiri dalam kondisi masih dibilang baru siuman beberapa jam yang lalu. Dan yang aneh, salah satu tamu entah darimana malah mengabadikan moment sepupu gue yang lagi terbaring di ranjang rumah sakit tersebut dengan kamera. Ini maksudnya apa? Gue gak ngerti!
Gue keluar menuju lobi yang tidak jauh dari kamar sepupu gue dirawat sementara. Jam besuk masih tersisa sekitar tiga puluh menitan. Gue baca-baca koran yang ada di lobi sambil menunggu tamu habis. Bau khas rumah sakit yang menyeruak menusuk hidung dan bikin mual ini mengingatkan gue pada kejadian beberapa tahun silam. Ketika itu gue terpaksa dirawat selama lima hari di Rumah Sakit Katholik Dirgahayu-Samarinda-Kalimantan Timur karena keracunan air akar.
Ceritanya waktu itu gue dapat proyek survey dan pemetaan tingkat tinjau untuk persiapan pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit milik salah satu perusahaan swasta yang berkantor pusat di Jakarta Selatan. Lahannya ada di Muara Wahau, sebuah kecamatan di Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur. Berjarak kurang lebih 500 KM atau 10 jam perjalanan darat dari Samarinda dengan catatan tidak sedang/habis hujan. Banyak jalan dalam kondisi yang memprihatinkan. Lubang menganga sedalam 1-2 meter dan berlumpur kerap menjebak kendaraan yang melintasi jalan tersebut. Terutama di sekitar Ambur Batu – Bengalon. Suatu kawasan transmigrasi yang berada tidak jauh dari Sangatta. Kota kecil tempat salah satu pertambangan batu bara terbesar di pertengahan Samarinda – Muara Wahau. Kaltim Prima Coal
Hari itu gue menjalankan tugas mengambil sampel tanah sebagai bahan penelitian di laboratorium untuk mengetahui kandungan kimia dan jenis tanah yang ada di lokasi sehingga dapat diketahui perlakuan apa nantinya yang bisa mempengaruhi produksi.
Suhu udara di Kaltim panas banget. Selain karena sengatan matahari, mungkin juga karena pengaruh bahan tambang yang banyak terkandung di tanah Kaltim. Di tengah-tengah hutan belantara dengan topografi lipatan/bergelombang hingga berbukit-bukit dan sebagian rawa-rawa, membuat gue dan team sering minum. Tak dinyana, bekal air minum yang gue bawa ternyata tidak mencukupi. Anggota gue yang semuanya asli anak daerah situ sudah terbiasa. Mereka tidak bawa air minum dan tiap kali merasa haus tinggal memotong akar pohon yang mengandung air. Mereka meminumnya layaknya minum air aqua. Gue sendiri sebenarnya tidak terlalu asing dan pernah mencicipinya dulu ketika melakukan hal yang sama di Riau. Rasanya dingin nyes nyes gimana gitu. Melihat atraksi mereka memberikan sedikit kelegaan atas kekhawatiran bakal dehidrasi di tengah hutan.
Kombinasi ketidaktahuan dan ketidakcurigaan membuat gue berprasangka baik. Di satu titik gue sudah tidak sanggup lagi menahan haus. Gue langsung minum saja air akar yang sudah dipotongin sama salah satu anggota team. Leganya. Kerja pun berlanjut hingga tuntas tanpa ada gangguan berarti.
Di camp, sehabis mandi, ada rasa yang tidak enak di tenggorokan gue. Buat nelen sakit. Gejalanya kayak panas dalam. Gue minumin adem sari. Bukannya sembuh tapi rasa sakitnya makin meningkat. Tenggorokan gue seperti lengket. Suara gue jadi kacau seperti kaset pita kusut.
Gue mencoba menenangkan diri dengan minum air hangat. Awalnya lancar-lancar aja. Lama-kelamaan air yang coba gue telan balik lagi. Ada semacam gaya tolak dari tenggorokan. Gue beranjak ke kamar dan memilih tidur sambil berharap ketika bangun besok pagi ada Angelina Jolie di samping gue penyakit ini sudah hilang dengan sendirinya.
Tengah malam gue terbangun. Keringat menetes deras. Badan gue menggigil. Suara gue juga makin kacau. Teman sekamar gue, Pak Ratman, menawarkan diri mengantar gue ke puskesmas terdekat untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan.
Sekitar lima belas menitan kita menerobos dinginnya Muara Wahau menuju Puskesmas terdekat menggunakan motor Pak Ratman.
Jalanan sunyi. Gue khawatir ada perampok yang tiba-tiba menghadang. Karena tidak membawa banyak uang, satu-satunya pilihan paling realistis dan menguntungkan bagi mereka adalah menculik gue untuk ditawarkan ke agensi-agensi yang mengorbitkan model-model tampan #ngarep
Bisa dibilang Puskesmas ini seperti mini hospital. Ada beberapa kamar untuk merawat pasien yang terpaksa harus menginap. Entah karena sakitnya parah atau karena rumahnya sangat jauh.
Gue terpaksa mengganggu bu dokter yang mungkin sedang berasyik masyuk dengan suaminya di rumah dinas yang masih berada di area puskesmas. Setelah beberapa kali mengetuk pintu dengan sopan, bu dokter muda tersebut membukakan pintu. Rambutnya sedikit acak-acakan tapi malah membuatnya terlihat lebih bin… natang apa yang tiap malam diperas susunya?... di dasternya tampak bercak cairan kental menempel disana-sini yang gue asumsikan sebagai iler walaupun dari baunya gue tau itu bukan iler.
Gak usah dibahas lebih panjang lagi, yaa…
Bu dokter segera memeriksa gue dengan standar yang berlaku di bidang kedokteran. Hasil analisis menunjukkan bahwa gue keracunan sesuatu.
Gue pun menceritakan mengenai tindakan gue minum air akar di hutan siang tadi menggunakan tulisan karena sudah tidak bisa ngomong. Di sinilah gue tahu dari penjelasan bu dokter bahwa air akar ternyata ada yang beracun dan ada yang memang bisa dikonsumsi. Nah, ternyata gue meminum yang beracun.
Malam itu gue harus menginap di puskesmas. Bu dokter menyuntikkan antibiotik dan memasang infus karena gue sudah tidak bisa menelan sesuatu. Bahkan air sekalipun. Tidak berapa lama gue muntah-muntah. Mungkin obatnya mulai bekerja membasmi racun-racun yang singgah di tubuh gue. Terbukti setelah muntah kondisi gue jadi agak mendingan. Keringat mengucur deras tetapi sudah tidak disertai demam. Pak Ratman kembali ke camp dan mengirimkan salah satu anak buahnya, Jelly, nungguin gue di puskesmas.
Paginya, kondisi gue memang jauh lebih baik dari semalam. Walaupun masih belum bisa menelan sesuatu, pita suara dan tenggorokan sudah tidak terasa lengket. Akan tetapi di sekitar leher gue bengkak. Para sesepuh/ketua adat setempat yang ikut menjenguk bareng orang-orang yang bertanggung jawab atas proyek yang melibatkan gue membawakan kulit kayu yang dipotong kecil-kecil seukuran korek api. Ironisnya gue diharuskan memakan benda tersebut.
“Ndak apa-apa, pelan-pelan aja, ini kulit kayu berkhasiat.” Kata salah satu dari mereka dan diamini oleh semua yang hadir.
Meski sedikit ragu, gue pun mulai memamah. Sulitnya minta ampun. Buat mangap barang satu mili aja sakit. Demi menghargai niat baik si bapak dibarengi motivasi untuk sembuh gue berusaha keras.
Entah karena sugesti atau memang manjur beneran, setelah kulit kayu tersebut berhasil gue telan, tidak berapa lama gue merasa agak fresh. Suara gue sedikit demi sedikit mulai jelas meski masih serak-serak. Setidaknya gue tahu kalau suara gue tidak hilang. Tapi tetap saja bu dokter merujuk gue ke rumah sakit di Samarinda untuk dirawat lebih intensif mengingat peralatan medis yang ada di puskesmas belum terlalu memadai. Masih standar.
Bu dokter nawarin gue menggunakan ambulan milik puskesmas. Gue ogah. Menurut gue ambulan itu kendaraan paling horor di dunia. Apalagi ini bakal jadi long journey dari Muara Wahau sampai ke Samarinda. Gue butuh kendaraan yang nyaman. Akhirnya diputuskan pakai mobil Mitsubishi Strada L-200 yang ada di camp.
Jelly tetap ditugaskan menjaga gue. Sekitar pukul sebelas waktu setempat dengan diantar sopir kita berangkat menuju Samarinda.
Inilah perjalanan paling tak terlupakan. Gue duduk di samping sopir sambil megangin infus yang digantung di dekat pintu mobil sementara Jelly di belakang. Beruntung beberapa compact disc gue masih ada yang tertinggal di mobil. Diantaranya album unplugged-nya The Corrs, Oasis, Rialto, Savage Garden, dan OST. Alexandria-nya Peterpan menjadi teman perjalanan yang mengasikkan.
Kita sempat break sebentar di Sangatta untuk makan.
Jam sembilan malam kita sudah masuk Samarinda. Sempat terjadi sedikit kesalahpahaman di dekat lampu lalu lintas samping Mall Lembuswana. Seorang polisi lalu lintas mengejar kita karena menerobos lampu merah. Ketika tahu di dalam mobil ada orang sakit yang tak lain adalah gue, polisi tersebut jadinya malah mengawal kita sambil mencarikan jalan alternatif tercepat ke rumah sakit. Gue berterima kasih ketika sudah sampai Rumah Sakit Katholik Dirgahayu-Samarinda. Polisi tersebut menggangguk penuh wibawa ala Morgan Freeman sambil mendoakan gue agar lekas sembuh. Kita pun bersalaman.
Gue pantas bersyukur. Ketika sakit dan jauh dari keluarga, di kantor perwakilan Samarinda ada mbak Desy yang senantiasa menjenguk gue setiap pagi dan sore. Bersyukur ada Jelly yang bersedia menemani gue di rumah sakit sampai sembuh. Bersyukur gue bekerjasama dengan orang-orang yang loyal dan mengesampingkan birokrasi/hal-hal yang bersifat prosedural ketika menghadapi masalah urgent sakitnya gue.
Setelah dinyatakan sehat dan diperbolehkan pulang, gue meminta ijin cuti untuk memulihkan kondisi di Bogor.
******************************************************************
Nyalak hape dari kantong celana gue menyentak dan membuyarkan lamunan. Tante gue nelpon minta supaya segera ke kamar tempat sepupu gue dirawat karena tamu sudah pada pulang.
Sepupu gue baru boleh dipindahin setengah jam lagi karena bakal kamarnya untuk dirawat inap selanjutnya masih disterilisasi.
Waktu yang masih lumayan panjang gue manfaatin untuk memindahkan barang-barang om dan tante gue yang sudah kayak mau nginep di hotel. Satu persatu gue mengangkut barang-barang dari lantai 3 ke lantai 4 rumah sakit. Hitung-hitung sekalian membakar kalori. Naik turun tangga.
Sebenarnya ada lift juga, sih, tapi…
Di kamar yang baru ini, sepupu gue bisa beristirahat dengan nyaman. Ruangannya luas dan bersih. Privacy terjaga. Ber-AC dan ada TV-nya sebagai alternative hiburan untuk mengusir kebosanan saat masih dalam perawatan. Jadi tidak terasa seperti sedang di rumah sakit.
Dari balkon kamar rawat inap tampak matahari mulai menampakkan warna jingganya nan indah. Senja menjelang menjemput malam. Sepupu gue tertidur pulas. Mungkin karena pengaruh dari antibiotik yang disuntikkan oleh dokter beberapa jam yang lalu. Tante gue juga beristirahat. Lelah. Sudah dari semalam belum bisa tidur karena mengkhawatirkan anak semata wayangnya.
Setelah dirasa sudah tidak ada lagi yang perlu dilakukan, gue disuruh pulang untuk menjaga rumah…
Di depan lift sudah mengantri dua orang. Salah satunya suster manis berkerudung dan memakai pakaian dinas harian rok panjang yang juga bertugas merawat sepupu gue. Dia tersenyum melihat gue. Tadi kita sempat berinteraksi ketika memindahkan sepupu gue ke kamarnya yang sekarang. Jari-jemari kita juga sempat secara tak sengaja bertautan ketika menggotong sepupu gue dari ranjang lama ke ranjang yang baru.
Gue putusin ikut turun menggunakan lift mumpung ada temannya. Si bapak yang juga mengantri untuk turun memencet tombol angka 3, gue memencet tombol angka 1, mbak suster ikut aja. Asumsi gue dia juga turun ke lantai 1 entah itu untuk mengambil obat atau semacamnya.
Dugaan gue salah. Mbak suster ternyata juga turun di lantai 3 sama dengan bapak tadi…
Ketika dia hendak melangkah keluar bareng si bapak, gue segera memegang tangannya…
Deg! Dia terhenti, terkaget, dan menoleh sambil melihat pegangan tangan gue. Gue berusaha tenang dan menunjukkan sikap bukan bermaksud untuk tidak sopan. Seperti yang pernah gue ceritain di ‘Menorphobia’, bagi gue ini situasi yang sangat genting.
Dia melotot dan berusaha melepaskan cengkraman tangan gue…
Sambil melihat ke dalam matanya yang bening, gue memohon: “Mbak, temenin saya dulu sampai ke lantai 1 dong, saya phobia berada di dalam lift sendirian.”
Raut mukanya jadi berubah seperti hendak tertawa tapi sengaja ditahan.
“Ah!, Mas, norak!.” Balasnya sembari mencubit pipi gue. Glek.
Tanpa disadari kita terus bergandengan tangan sampai lanti 1. Sengaja apa keenakan?
Memang, kisah yang spontan dan singkat itu selalu berkesan.
Ssstt…,
Nama lengkapnya: Aline Liberty Florissantia
Nomor Hape: 08567676xxx
Rumahnya: Hmm… Kasih tau nggak yaa…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar