Jumat, 30 Desember 2011

Preview


Opening Act: Cruisin' by Sioen

Liburan awal tahun depan gue mau backpacker ke kawasan Indochina.

*standing applaus plus sambutan Presiden RI*

Sudah! Sudah! Ini norak!

Trus motivasi lu buat backpacker tuh apa?

*membisu sejenak lalu menghirup udara pelan-pelan dan mengehempaskannya, kemudian dengan mata berkaca-kaca diiringi suara lirih sesenggukan menjawab* :

Gue kangen seseorang (iyeh, iyeh, mantan!). 

Tapi gue udah gak punya hak #ngenesbertubi-tubi.

Rindu gue terlarang membentur batu karang #mendadak Katon.

Kenangan sewaktu masih bersamanya tiba-tiba singgah di palung hati lalu mengalir mengikuti darah menuju seluruh penjuru nadi. 

Menelusupi celah-celah kepiluan. 

Hari-hari jadi terasa hampa. 

Kosong. 

Seperti pagi tanpa kehangatan sang mentari. 

Bagai langit malam tanpa bintang….

Sebenarnya gue pengen nelpon atau SMS sekedar untuk nanyain kabarnya, 

Tapi.... aku nggak punya pulsaaa...

Laaaahhh.. kok jadi galau gini? Piye to iki?

Kagak. Sebenarnya ini sudah lama banget jadi obsesi. Secara gue emang orangnya doyan jalan-jalan. Terutama mengeksplorasi tempat-tempat baru yang unik dan belum pernah gue kunjungi sama sekali sebelumnya. Gituuh.

Lanjut

Semua berawal ketika gue ketemu salah satu sahabat semasa SMA yang udah tujuh tahun kepisah. Andri Sofyan Husein. Demikianlah nama beraroma islami yang telah disematkan oleh kedua orangtuanya dengan harapan agar di kemudian hari kelak dia bisa menjadi manusia beriman, bertakwa, baik budi pekerti, luhur sifat, serta berguna bagi keluarga, lingkungan sekitar, maupun nusa dan bangsa. Kok kesannya gue kayak jadi jubir caleg dari suatu partai, yaa. Well, sejak hari pertama masuk SMA sahabat gue ini sudah punya julukan: Basir. Jaman itu lagi ngetop-ngetopnya serial Misteri Gunung Merapi di Indosiar (sudah bisa nebak kan umur gue berapa?). Fisically, si Andri Sofyan Husein ini emang ibarat kate, nih, bagai pinang dibelah dua sama tokoh Basir dalam serial tersebut yang diperankan oleh Samsul Gondo (apal banget yak gue). Dua kombinasi yang pada akhirnya menghasilkan persamaan matematika: Andri Sofyan Husein = Basir.

Dan sejak pertama maen bareng sampai sekarang, gue masih memanggil dia: Basir.

Selepas SMA, Basir kuliah di jurusan Fisika-Fakultas MIPA-UNILA-Lampung. Sedangkan gue kuliah di IPB-Bogor (kagak usah nanya jurusan, yaa *melotot sambil tolakpinggang #ngancam). Selepas kuliah, gue yang telah memutuskan menjadi seorang freelancer disibukkan sama proyek-proyek dosen atau kadang-kadang instansi-instansi tertentu terkait dalam pemetaan. Spesialisasi gue –ehm- Geographic Information Systems.

Baiklah, gue jelasin dikit: kerjaan gue keluar masuk –kalo perlu sampai nginep- di hutan, ambil sampel tanah, dianalisa di laboratorium, trus memetakan sebaran jenis tanah dan fisiografinya berdasarkan hasil analisis. Singkatnya gitu. Ngerti kaan. Keren kaan.

Setelah sekian lama bergelut dengan asap dan debu dalam pencarian seonggok manusia bernama Andri Sofyan Husein a.k.a Basir. Adalah Deni Christian yang juga temen SMA gue ngasih tahu alamat Facebook-nya Basir.

Gue add, dong...

Beberapa hari kemudian dia confirm. 

Dalam obrolan melalui chatting yang diselingi umpatan-umpatan khas Jawa Timuran, seperti: Jancok, Jangkrik, Gathel, Diamput, Raimu koyok Asu, dan lain-lain, Basir memberitahukan bahwa dirinya sedang bekerja pada salah satu bimbingan belajar terkemuka di Bintaro-Tangerang. Disana dia tidak hanya mengajar anak-anak pribumi tapi juga anak-anak kaum ekspatriat.

Kita pun merencanakan untuk kopdar.

Hari pun telah ditentukan.

Maka, di suatu minggu nan cerah kita sepakat bertemu di daerah stasiun Jakarta Kota.

Sebenarnya pertemuan awal setelah tujuh tahun kepisah itu juga sempat diwarnai oleh kejadian yang kurang mengenakkan. Demi merayakan bersatunya kembali duo labil ini, gue bermaksud memperkenalkan salah satu makanan khas Bogor yang kebetulan ada dijual di sekitar stasiun Jakarta Kota. Gue berharap langkah tersebut bisa menjadi semacam preview buat Basir sebelum benar-benar menginjakkan kaki di Bogor suatu hari nanti.

Makanan tersebut adalah:

Ladies and Gentleman, please welcome: Toge Goreng

---------------Backsound: Final Countdown by Europe---------------

Gue memesan dua porsi ke abang penjualnya. Tanpa rasa curiga, kita menunggu sambil mengagumi deretan bangunan tua yang terpampang di seberang jalan. Bangunan-bangunan tersebut tampak usang dan tidak terawat. Padahal termasuk bagian dari kawasan wisata Kota Tua. Tak jauh dari situ nampak museum Fatahillah yang selalu ramai pengunjung disaat weekend.

Pesenan datang.

Ketika hendak memasukkan sesendok suapan pertama ke mulut, ada sedikit kejanggalan yang menggangu indra penciuman. Gue dan Basir saling berpandangan dengan aksen: kok kayaknya makanannya diracik dari bahan-bahan yang sudah basi, yaa. 

Agar lebih yakin, Basir mencicipinya.

“Anjrass! Rasanya kayak air sabun bekas dipake cuci tangan orang yang habis cebok!” 

Kita terdiam sejenak sambil memikirkan cara kabur biar gak menyinggung perasaan si abang penjual toge goreng. Lalu gue berinisiatif membayar makanannya terlebih dahulu dan bilang ke abangnya kalau kita mau makan di depan gedung BNI yang hanya berjarak sekitar lima meter-an dari situ.

Di depan gedung BNI tersebut kita menghibahkan toge goreng ke seorang nenek-nenek tunawisma. Tadinya mau gue paketin aja ke Demak Sihaloho, temen gue yang tinggal di Tebingtinggi, Sumatra Utara.

Daripada kesel, kita pun melanjutkan perjalanan menuju museum Fatahillah. 

Eh, ada penjual bubur ayam.

Rasa lapar yang belum tuntas, mendorong kita untuk memesan. Pas lagi mau makan, baru sadar kalo di depan gue ada tempat sampahnya si abang penjual bubur ayam. Gimana sih rasanya makan di depan bekas orang makan yang gak habis. Dikumpulin jadi satu dalam tas plastik. Terlihat seperti –maaf- muntah-muntahan. Basir yang tidak menyadari hal tersebut cuek aja makan dengan membabi buta. Setelah dua sendok yang rasanya sulit untuk ditelan itu, gue pun menyerah dan berhenti melanjutkan makan.

Kegagalan gue menikmati dua makanan sebelumnya terbayar telak ketika menyantap seporsi kerak telor di samping museum Fatahillah. Racikan kerak telor yang pas. Nuansa Betawi-nya dapet banget.

Disinilah. Disaksikan oleh si abang penjual kerak telor yang paling bisa ngebo’ongnya, rencana backpacker pun ditahbiskan. Tak disangka tak dinyana obrolan haha hehe kita menjurus ke pembahasan mengenai backpacker. Gue sama Basir punya keinginan/kegemaran yang kurang lebih sama. Intinya lagi bosan di dalam negeri dan pengen sekali-kali keluar demi sebentuk inspirasi. Sebuah langkah pancarian jatidiri. Pembentukan karakter/watak/identitas.

Basir menyarankan Malaysia aja dulu. Itung-itung buat latihan. Disamping menyesuaikan budget juga.

Gue menyetujuinya dengan anggukan kepala ala Morgan Freeman.

Hari-hari selanjutnya diisi dengan kesibukan bikin paspor dan hunting-hunting tiket promo di internet. Bahkan Basir sampai bikin grup Hitch Hicker di Facebook demi mengakomodasi persiapan backpacker kita. Grup ini terbuka untuk umum. Bagi siapa saja yang merasa mempunyai semangat yang sama silahkan bergabung. Barangkali bisa saling tukar info tempat-tempat wisata yang yahudh di dalam maupun luar negeri. Atau malah jalan bareng di satu waktu.

Ditengah-tengah perburuan tiket murah ke Malaysia, gue justru nemu harga yang menarik sesuai kantong menuju Ho Chi Minh City – Vietnam. Tanpa pikir panjang keburu gak dapet, atas bantuan temen yang biasa melakukan transaksi online, tiket tersebut berhasil gue dapatkan.

Besoknya gue nelpon Basir...

Gue       : “Sir, tiketnya udah dapet untuk penerbangan tanggal 03 Januari 2012 ke Ho Chi Minh 
                City-Vietnam.”
Basir      : “Apaaa!“ (lengkap dengan kamera yang meng-close up ekspresi muka Basir)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar