Sabtu, 18 Desember 2010

Obrolan Pagi Di kantin Kampus

ZZZ..,
Woi !, sobat pembaca yang budiman dan budimin pa kabar ni?. So pasti pada baik–baik aja kan?. Biar ga terlalu stress mikirin kantong yang lagi kempes mendingan ikutin kisah seru ini…,yuk..,
Kalian tau si Zul kan..?. Itu lho anak yang ngetop di kampus tercinta kita karena ketidak keceannya. Makhluk yang satu ini emang unik banget. Langka. Ngakunya sih lahir di Amsterdam dan masih ada garis keturunan ama Ratu Belanda gitu deh... Padahal sebenarnya menurut Pak Parazi, si Zul tuh AsGar alias Asli Garut. Tapi ya terserahlah, ngapain terlalu dipikirin. Mau keturunan ratu kek, monyet kek, ga penting.

Berita terbarunya, belakangan dia jadi korban invasi band–band dari Lampung macam Hijau Daun, Wali, dan Kangen Band. Untuk yang disebut terakhir, si Zul terobsesi abis. Apalagi sama vokalisnya, si Andika. Ga’ cuman kamar kostnya aja yang penuh dengan poster–poster Kangen Band, kamar mandi pun juga terpaksa merelakan tubuhnya ditempelin gambar band yang emang lagi rame dicaci dan dipuji itu. Kompensasinya, ibu kostnya yang juga biasa mandi disitu jadi suka mas…. sak. Lebih intensif daripada biasanya. Koleksi kasetnya jangan tanya deh, lengkap marlengkap cuey. Jangankan album pertama dan kedua, album yang masih sekedar ide bagi Kangen Band pun dia udah punya. Ajaib ga’ tuh. Buku hariannya selalu menceritakan tentang hasratnya ingin memeluk Andika. Hiiiii….,

Saking terobsesinya dia sampai mati-matian merubah style. Merusak fondasi karakternya sendiri. Kalo biasanya orang–orang pada nyari obat penghilang jerawat si Zul justru getol nyari obat penumbuh jerawat demi bisa tampil mirip sang pujaan. Ck, ck, ck, kesian banget. Mau gimana lagi, emang maunya dia begitu. Kita sih sebagai temen cuman bisa mengelus dada aja. Tiap kali dinasehatin selalu masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Bukan karena dia ga’ peduli, ya emang dasar budek aja anaknya. Jarang ngebersihin tai kuping.

Alhasil tiap pergi kemanapun orang–orang yang ngeliat dia pada teriak histeris bagai ketemu hantu comberan. Bahkan ada yang sampai tak sadarkan diri dan baru siuman setelah dibawa ke dukun karena dokter manapun tak sanggup mendiagnosis jenis penyakit semacam itu. Tapi si Zul cuek aja tuh. Makin pede malah. Dan kemarin katanya dia baru aja ke salon. Ngakunya meni pedi. Padahal aslinya abis nyukur bulu hidungnya yang udah panjang–panjang melebihi panjangnya kacang panjang.

Tapi biar norak kayak gitu toh dia tetep aja masih bisa beruntung karena berhasil macarin Santi kembang kampus nan harum laksana kesturi surga. Praktis si Zul jadi bisa nabung karena ga perlu beli–beli parfum lagi. Gimana ga’ hayo, lha wong tiap kali jalan sama Santi bau busuknya yang khas itu tersamarkan.

Terus terang ini sangat mengagetkan pihak manapun. Cowok mana sih yang belum pernah nembak Santi buat dijadiin pacar. Kecantikannya bagai sihir yang ditebar, melumpuhkan hati para pencari cinta. Dan mereka bukannya ga’ keren–keren. Tajir pula. Mulai dari anak pengusaha, anak haram, sampai anak singkong udah pada nyoba. Konon salah satu dari mereka ada yang rela ninggalin Dian Sastrowardoyo demi mencoba peruntungan dengan Santi. Mereka rela mati demi Santi. Tapi kok ya si Santi malah menambatkan jangkar hatinya di pelabuhan butut macam Zul. Ibarat kapal Titanic yang cantik lagi nyandar di empang. Ini yang pantas dipertanyakan dan perlu diteliti lebih lanjut apakah ada senyawa–senyawa kimia yang salah pola dalam tubuh Santi.

Bukannya sirik loh.., cuman kadang ga’ habis pikir aja ngeliat Santi bisa nyaman berada di dekat Zul. Menggelendot manja, meluk-meluk, menyandarkan kepalanya di pundak Zul sambil mendengarkan lagu–lagu Cirebonan yang didendangkan oleh Zul. Aneh. Santi suka. Betah lagi. Padahal tanpa disadari Santi sendiri, dia itu sebenarnya sama aja kayak lagi duduk di tempat sampah tau ga’ sih.

Dan emang bener….., beberapa menit kemudian belum sampai tuntas dendang lagu cucak rowo demi memanjakan Santi datang truk sampah dari Dinas Kebersihan Kota. Kontan si Zul langsung misuh-misuh ga’ karuan begitu di angkut ke truk. Segala bahasa binatang terlontar dari mulutnya yang ga’ sexy sama sekali itu.

“ Woi!, f@#$%^&***!!, mau dibawa kemana gw!!?.”.

“ Ups.., Sori bang, gw kirain bangkai tai tadi.” kata salah satu petugas yang ternyata salah sangka tersebut dengan ekspresi setengah kaget.

Hubungan mereka selalu jadi buah bibir di kampus. Bukan romantismenya yang dikedepankan oleh gossiper, melainkan kejanggalannya. Tapi Santi emang pantas diacungin dua jempol sekaligus. Dia tidak peduli dengan segala komentar jijay bancay tentang Zul di luaran sana. Toh emang udah menjijikan dari sononya mau diapain lagi.

Biarpun cantik dan feng shuinya bagus (menurut Mama Loreng), keadaan tersebut tidak lantas menjadikan Santi sombong dan pilih–pilih dalam pergaulan. Mampu menerima apa adanya (buanget) si Zul. Selain itu, Santi tuh anaknya luthu tauk. Dia juga ga’ takut ngelakuin hal-hal yang bikin dia jadi kelihatan bodoh. Salah satunya ya pacaran ama Zul ini. Dan mereka menjalani percintaan tersebut dengan rasa saling percaya yang kuat. Makanya bisa langgeng sampai tahun kedua ini. Rasa percaya itulah yang membuat mereka mampu bertahan dari serangan badai. Ceilee…,

Santi tuh emang sayang beneran sama Zul. Ga’ maen–maen. Begitu pula sebaliknya. Beda banget sama pasangan–pasangan lain yang suka putus nyambung, sekedar nyari sensasi biar ngetop di kampus gitu. Selain rasa saling percaya mereka yang kuat, ternyata saling terbuka juga menjadi salah satu fondasi teguhnya cinta kasih mereka sampai sekarang. Maka jangan heran kalo tiap kali ketemu mereka selalu buka baju bareng..,eh, ga’ ding. Diantara mereka tidak pernah ada rahasia. Setiap ada yang mengganjal dan berpotensi merusak langsung dibicarakan dan dicari solusi terbaiknya. Tapi sejauh ini masalahnya selalu sama. Klasik. Seputar kantong Zul yang selalu kempes. Beruntung Santi tuh selain cantik, lucu, rada bloon, juga dermawan. Maka tak heran jika biaya kost dan hidup Zul selama ini termasuk siomay yang barusan dinikmati bersama pake acara suap menyuapi kayak pengantin baru itu Santi semua yang nanggung. Lho?, tunggu, tunggu,,, San, loe tuh sebenernya pacaran atau lagi ikut Program Gerakan Nasional Orang Tua Asuh sih?.

Bingung gw…,

By the way bagaimana tanggapan mami papi Santi tentang pilihan putri kesayangannya tersebut. Awalnya sih shock ya. Kaget banget ghettoh. Nonton lenong sih nonton lenong aja tapi jangan bawa–bawa pulang propertinya dong. Entar kalo dicariin sama yang punya gimana. Bisa dianggap klepto nanti. Namun setelah dijelaskan pelan–pelan oleh Santi bahwa si Zul ini termasuk jenis manusia pemakan nasi seperti mereka, akhirnya mami en papi mulai bisa menerima walau dengan berat hati demi si buah hati.

Sebenernye si Zul masih punya satu rahasia yang sampai saat ini Santi belum pernah tau karena Zul tidak mau terbuka untuk masalah yang satu ini. Diam–diam si Zul ternyata mengidap Oedypus Complex yang akut. Akut banget. Bayangin aja, kalo umumnya penderita penyakit psikologis semacam ini tertarik ama cewek yang lebih tua maksimal sepuluh tahun dari umurnya, si Zul cenderung suka sama cewek yang enam puluh tahun lebih tua darinya. Beehh..,
Dan kisah tragis itu terjadi ketika dia masih duduk di bangku SMA di kampungnyo nan mecil. Saat itu cintanya bersemi pada seorang nenek yang udah janda dan terkenal doyan bronis. Lah.., kalo Zul mah bukan bronis tapi brosuk alias brondong busuk atau brotai…., brondong tai (hhh,tai lagi, tai lagi.!.!.). Ya, maklumlah udah sepuh jadi penglihatannya udah rada terganggu. Ganjil, mengundang kontroversi, sekaligus dianggap haram oleh sebagian ulama di kampungnya yang terkenal sering melahirkan santri–santri cerdas dan mumpuni itu. Wessss..!!!!!

Berliku. Begitulah kiranya merepresentasikan kisah kasih mereka pada waktu itu. Kedua orang tua Zul jelas menentang dan malu berat coy. Ya.., biarpun jelek–jelek amir setidaknya pilihannya bisa sepadan dan tetap memperhitungkan kualitas maupun kuantitas, termasuk umur. Ini mah kayak cucu ama neneknya aja. Tapi Zul tidak mau menyerah pada keadaan. Dia rela diusir dari rumah demi seorang nenek yang udah bikin dia mabuk kepayang itu. Maminya shock abis dan sempat dirawat di salah satu rumah sakit terkenal di Singapura.

Begitu besar dampak dan biaya yang dipertaruhkan karena ulah Zul yang di atas normal. Maka si Zul pun dianggap sebagai anak durhaka. Ketika maminya hendak melontarkan kutukan dari mulutnya, para sesepuh, kyai, tokoh masyarakat, dan lagi–lagi Dinas Kebersihan Kota setempat buru–buru mencegah. Biar bagaimanapun ga’ ada baiknya mengutuk anak sendiri nasehat mereka. Lagian mau dikutuk jadi apa?. Batu?, percuma, paling–paling juga jadi batu kali yang nyampur ama tai. Trus apalagi?, sampah?. Udah terlalu banyak sampah di bumi ini. Kalo jadi sampah yang bisa didaur ulang dan menghasilkan keuntungan dari segi ekonomi sih fine.., secara lagi krisis global kayak gini ya kan…, tapi si Zul?, Boro-boro deh. Jadi tai kucing aja belum tentu kucing mau ngakuin. Yang ada cuman nambah–nambahin dosa aja.

Dalam pelarian yang entah kemana itu sebenarnya mereka berniat untuk married. Namun sial, ketika baru di depan pintu masuk KUA setempat salah seorang staf malah ngasih tau kalo panti jompo ada di sebelah kantor tersebut. Bete abis si Zul. Bibirnya dimonyong–monyongin. Salah satu staf yang lain langsung gantungin jaket. Zul bersin-bersin. Dikasih tau kalo nenek itu calon istrinya spontan seisi KUA ga’ bisa nahan ketawa. Ada yang sampai guling–gulingan, manjat–manjat pohon, masukin kepala ke lubang pispot. Gokil marokil. Untuk beberapa jenak kantor yang biasanya jadi tempat menyatukan dua insan dalam ikatan pernikahan itu jadi kayak rumah sakit jiwa yang lagi ngadain pertunjukan sirkus.

-Dan ketawa mereka baru bisa berhenti tiga bulan kemudian-.

Setelah beberapa waktu terombang–ambing di tengah badai ketidakpastian akhirnya mereka ketemu juga sama seorang penghulu. Zul dan calon istrinya ditampung di rumah penghulu tersebut yang ternyata duda tanpa anak. Kesepian pastinya mewarnai hari–harinya sampai senja ini. Tak heran jika kehadiran Zul dan calon istrinya membuat penghulu itu seperti menerima berkah tak terkira. Berhubung bau mereka (terutama Zul) udah ga’ ada bedanya sama kandang bebek, mereka pun disuruh mandi terlebih dulu. Sementara pak penghulu menyiapkan daun pisang sebagai baju ganti buat mereka (yaelah, dikata lemper apa,!,).

Sehabis mandi si nenek centil pecinta bronis itu memasak untuk makan malam mereka. Tapi ditunggu–tunggu hingga makanan masak dan siap untuk disantap si Zul nya kok ga’ muncul–muncul. Udah sejam lebih. Maka sang Cinderelek yang ga’ mau lama–lama jauh dari Pangerenyek itu pun nyamperin ke kamar mandi. Doi langsung panik ketika mendapati sang kekasih tidak berada di kamar mandi. Terpaksa tuan rumah juga ikut turun kaki mencari. Setelah ditelusuri kesana kemari sampai blusukan ke kandang babi, akhirnya si Zul diketemukan juga. Rupanya dia lagi asik berendam di kubangan lumpur di samping kebun. Kayak orang lagi spa ghetto taow ga’ (gaya ngucapinnya dibikin kayak Fitri Tropika). Pantes aja dari tadi ga’ mentas–mentas. Jumpa habitat gimana sih.

Pak penghulu pun memahami duduk persoalan yang mereka hadapi setelah mendengarkan ceritanya dari Zul dan bersedia menikahkan mereka. Meskipun bau jigong Zul naudzubillah banget, pak penghulu tetap sabar mendengarkan curhatan Zul hingga tuntas. Tapi ada permohonan dispensasi dari Zul sebelum resepsi digelar. Dia ingin menyelesaikan ujian akhir sekolah dulu biar bisa dapat ijasah dan gampang cari kerjaan untuk menafkahi istri nantinya. Si nenek setuju–setuju aja, toh cuman nunggu tiga hari apa beratnya sih kalo demi cinta (hueekk!!!). Tanpa disadari oleh ketiga pihak, inilah awal dari tragedi tersebut. Tiga hari yang menjadi titik balik dari semuanya. Tiga hari yang merubah segalanya.

Dalam hari–hari dimana si Zul bergelut dengan soal–soal ujian, mempertaruhkan reputasi dan harga diri demi sebuah nilai yang gemilang, benih–benih cinta itu mulai bermekaran diantara mereka. Diam–diam ternyata pak penghulu udah jatuh cinta sama nenek itu sejak pertama kali jumpa. Love at first sight. Awalnya cuman ngobrol biasa aja, ngebahas hal basa–basi, mumpung Zul lagi ga’ ada. Disinggung apakah emang doyan bronis dari dulu, eh, si nenek senyum malu–malu kucing gitu. Kecentilan. Bikin pak penghulu makin dag dig dug ser dan tambah getol melakukan manuver–manuver rayuan gombal. Kutu kupret!.

Malamnya, si nenek jadi gelisah kepikiran romantisme pagi tadi. Sorot matanya yang tajam namun anggun meneduhkan -menawarkan perlindungan tanpa henti-, otot–ototnya yang masih kekar seperti binaragawan. Fantasi nenek terbang. Seandainya sekarang dia berada dalam pelukan pak penghulu itu, aiiihh.., betapa indah dan sempurnanya hidup yang tinggal sisa–sisa. Dan malam ini adalah malam yang panjang bagi si nenek. Disampingnya si Zul udah ngorok kayak babi kekenyangan. Dipandangnya sosok kurus kering kerontang itu dengan tatapan sayang. Semakin lama semakin hambar. Dilema besar.

Keesokan harinya canda rayu mereka mulai berani. Banyak improvisasi. Dan sepertinya mereka mulai menyadari bahwa mereka memang saling membutuhkan satu sama lain. Maka hasrat yang sekian lama mengembara tanpa arah dan membutuhkan penuntasan seolah telah menemukan rimbanya. Dan, dan, dan, terjadilah…..,. Siang itu di rumah yang hanya mereka berdua, setanlah yang menjadi makhluk ketiga sekaligus sutradaranya dan dengan leluasa menginstruksikan adegan–adegan ala kama sutra yang udah sekian lama ga’ mereka mainin. Mereka berpeluh dalam romansa surga tak bertepi. Berpacu dalam deru nafas yang memburu. Nikmat. …,ah..uh..ah,… crot..crot..crooott…, aaahhhhh….!...
Puassss…,

Brakkk!!!. .., Zul mendobrak pintu kamar setelah mendengar desahan-desahan mencurigakan. Tak biasa.

Dua insan yang sama-sama mencapai or… rang tersebut langsung salting ga’ karuan ketika tanpa disadari si Zul datang dengan tiba–tiba mendapati mereka dalam keadaan yang “………” (sorry disensor). Seketika hati Zul pun hancur berkeping–keping. Lantak bagai debu. Dibantingnya daun pintu kamar sebagai wujud kekecewaannya atas pengkhianatan cinta. Tapi naas, mungkin karena saking emosionalnya, daun pintu tersebut memantul kembali tepat mengenai mukanya. Jrott. Makin ancur aja tuh muka.
Pas mau berdiri lagi, Zul terpeleset sesuatu yang terasa licin-licin lengket gimana gitu…, (apa hayo??)

Semenjak itu si Zul menjadi pemurung kelas berat. Hatinya terguncang hebat. Hasil ujiannya yang super duper fantastis tak jua berhasil mengobati atau mencipta seulas senyum sekalipun. Dia tetap murung dan selalu melamun. Sebagaimana mereka – mereka yang pernah mengalami patah hati, begitu pula Zul tiba–tiba menjadi puitis mencipta beribu–ribu sajak nelangsa. Parahnya lagi dia jadi anti air alias segen mandi dan gosok gigi. Tak heran jika tetangga–tetangganya yang tinggal hingga radius tiga kilometer dari rumahnya memilih untuk eksodus dan tinggal di tenda–tenda darurat yang telah disediakan oleh Pemda setempat. Kejadian tersebut ditetapkan sebagai bencana regional dan termasuk dalam ketegori POLUSI BAU STADIUM V. Bumi semakin tercemar.

Lagi–lagi kedua orang tua Zul yang repot. Pondok pesantren nolak, rumah sakit jiwa nolak, psikiater udah pada nyerah, paranormal juga angkat tangan. Dalam ketidak pastian arah datanglah surat dari Institut Pertanian Bogor (kampus kita, bro.,). Zul lolos melalui jalur undangan tanpa perlu mengikuti tes lagi karena nilai ujiannya yang bagus–bagus dan dianggap mampu secara akademik (horeee….,). Alhamdulillah. Tanpa ba bi bu, ca ci cu, apalagi da di du (halah), orang tua Zul langsung memberangkatkannya ke Bogor.

Mungkin inilah pengalaman yang bakal tak terlupakan dari kantong memori Zul sepanjang sejarah hidupnya, yaitu kejadian menyebalkan ketika baru sampai di Bogor. Kala itu Zul yang datang dari kampung dan pertama kalinya merantau ke Bogor sudah barang tentu masih kurang peka terhadap trend fashion yang sedang in atau lagi digemari sama anak-anak muda zaman sekarang. Bagi Zul pakai kolor sama sarung dipadu kopiah ala kabayan udah keren banget. Di kampungnya dengan dandanan seperti itu dia udah berani suat suit tebar pesona (emang punya gitu?). Tapi ternyata di Bogor lain. Beda. Ketika anak muda lain rame berkostum ala Harajuku, Zul malah bergaya ala Haramjadah. Akibat fashion yang salah kaprah itu, Zul ikut keciduk oleh Polisi Pamong Praja yang kebetulan lagi merazia para gepeng dalam rangka rehabilitasi kota Bogor menuju Bersih Abad 21.

Di kantor Polisi Pamong Praja kota Bogor, Zul meronta–ronta, meracau tak karuan, mencoba meyakinkan kalo dirinya adalah calon mahasiswa Institut Pertanian Bogor. Para petugas jelas sangsi berat (dengan mempertimbangkan dandanan Zul). Sialnya lagi, dompetnya kecopet tadi di terminal. Makanya si Zul ga’ bisa nunjukin kartu identitas diri dan surat rekomendasi dari rektor calon tempat dia kuliah karena semuanya ada di dompetnya yang telah raib tersebut. Sempurnalah penderitaan Zul. Polisi Pamong Praja semakin yakin tidak sedang melanggar azas praduga tak bersalah. Ibarat udah jatuh ketimpa reruntuhan tembok Berlin. –“Mati aja lo”-.

Berita penahanan Zul oleh Polisi Pamong Praja kota Bogor menjadi headline news media cetak maupun elektronik yang tersebar dan tersiar sampai seluruh penjuru negeri gemah ripah loh jinawi ini. Rektor IPB yang kebetulan sedang tugas ke luar kota begitu terhenyak ketika menyaksikan wajah Zul di TV dan yang terpampang di halaman depan koran-koran. Saking kagetnya, kopi yang hendak beliau minum berubah menjadi darah (hah!!!, sumpeh lo..,). Identitas yang disebutkan oleh berita itu mengindikasikan bahwa memang dialah anak jenius yang sedang ditunggu–tunggunya dan digadang-gadang bisa menjadi generasi penerus Institusi.
Detik itu juga sang Rektor langsung menghubungi via telepon, e–mail, Facebook, Friendster, dan lain sebagainya termasuk dukun telepati yang bisa menyampaikan berita secara langsung, cepat, dan tepat sasaran kepada seluruh anggota dewan yang notabene konco dekatnya sendiri untuk menjamin Zul agar bisa keluar tahanan dan ngopenin barang beberapa hari sampai sang Rektor kembali dari tugasnya.

Keesokan harinya kantor polisi pamong praja menjadi pusat perhatian massa karena banyak mobil pejabat parkir disitu. Ada apa gerangan?. Apalagi kalo bukan perkara Zul. Kurang lebih lima orang pejabat yang juga para caleg dari berbagai partai sepakat patungan dengan jumlah nominal yang dirahasiakan untuk menjamin Zul keluar dari tahanan. Bagi mereka momen tersebut secara langsung atau ga’ langsung jadi ajang kampanye untuk menjaring lebih banyak simpatisan. Terutama dari kalangan mahasiswa. Karena mahasiswa adalah tunas bangsa yang selalu membawa ideologi baru, kritis, dinamis, dan fresh. Secara pemilu sudah diambang pintu. Kontan, Zul pun jadi model kampanye mentah-mentah tanpa upah.

Masalah belum tuntas sampai disini saja. Justru makin melebar. Runyam tak karuan. Kompleks. Demi membangun image atau citra partai baik dan peduli rakyat, mereka malah gontok-gontokan satu sama lain memperebutkan hak asuh sementara Zul. Padahal kalo kita mau flashback, mereka berlima tuh temenan dari kecil. Maen kelereng bareng, maen layangan bareng, nyolong jemuran tetangga bareng.

Setelah melalui sidang melelahkan di pengadilan negeri kota Bogor, akhirnya diputuskan hak asuh sementara jatuh ke tangan bapak A dengan mempertimbangkan nominal terbanyak yang telah dikeluarkannya untuk menjamin Zul keluar dari tahanan. Dalam hari-hari berikutnya gambar-gambar Zul berpose bersama pejabat bersangkutan dalam kemasan stiker, baliho, banner, xbanner, poster, dan billboard terpampang di tiap sudut-sudut strategis kota. Ekspresinya lebih mirip orang lagi nahan kepengen pup daripada kesan rakyat jelata. Atau bisa dibilang rakyat jelata yang lagi nahan pup dirangkul ama pejabat. Terserah deh mau persepsiin apa aja.

Zul sangat antusias di hari pertama kuliah. Dia merasa seperti terlahir kembali dengan spirit baru pula. Dia juga langsung bisa menjawab semua pertanyaan dosen yang belum dilontarkan (titisan roh jahat ya?). Saat itu dia belum begitu peduli ama Santi yang duduk tepat di depan bangkunya. Pun dengan Santi, juga suka membuang segala jenis sampah (paling sering buang ingus) ke arah belakangnya. Sampai ketika Dosen mengabsen setiap mahasiswa/wi, Santi pun jadi merasa berdosa dan segera minta maaf karena telah menduga Zul sebagai pispot toilet umum. Zul easy going aja. Baginya itu hal biasa (sstt…, Zul lebih tersinggung kalo disangka manusia).

Hingga pada suatu sore yang berkalang rintik-rintik hujan, seusai kuliah, Santi bergegas, mempercepat langkahnya menuju halte bis di depan kampus. Karena lupa ga’ bawa payung, maka tas merk Ripcurl yang telah dibelinya sewaktu liburan ke Australia pun terpaksa dikorbankan untuk menggantikan peran si payung. Tapi saat tinggal beberapa meter lagi nyampe halte tiba-tiba guntur menggelegar tanpa ijin. Santi kaget. Pingsan. Beruntung (entah kebetulan atau emang takdir) Zul yang juga hendak ke halte sudah berada tepat di belakang Santi. Maka ketika Santi jatuh pingsan, Zul pun menangkap setangkai Santi dengan heroik sebelum nyemplung ke selokan. Pada saat itulah Zul terkesima pada wajah Santi yang jelita, rambutnya yang bak rangkaian pelangi, kulitnya yang mulus, bentuk tubuhnya yang proporsional, dan wanginya yang magis. Untuk beberapa detik Zul melambung ke alam fantasi bercinta. Tanpa mau membuang-buang waktu lagi, Zul langsung menyatakan isi hatinya kepada Santi. Dalam keadaan pingsan tersebut, Santi merasa seolah-olah seorang pangeran tampan dari negeri antah berantah hendak meminangnya. Santi mengiyakan. Alam bawah sadar telah menipunya.

Apa boleh buat, nasi udah terlanjur menjadi bubur. Santi termasuk cewek yang memegang teguh komitmen. Maklum aja karena sejak kecil dia dididik secara militer oleh ayahnya. Diantaranya macul. Dia memilih untuk belajar menerima (kenyataan) Zul yang apa adanya secara muka. Pelan tapi pasti, seiring berjalannya waktu usaha tersebut berhasil dan semakin membuat iri semua orang, terutama para cowok. Salah satunya Adi. Cowok sableng tapi ganteng ini ternyata juga punya obsesi berlebih pada Santi sejak pertama kali perwujudan wangi surgawi itu melintas di ladang lamunannya dan terus singgah. Menyimpan rasa mendalam dan rela mati demi Santi. Tapi harus berjiwa besar dan tetap berpikir rasional. Akibat keterlambatannya, Zul lah yang akhirnya merayakan masa panen penuh suka cita. Sabar Adi.

Belakangan ada pihak-pihak tak bertanggung jawab dengan tujuan tertentu berusaha mendiskreditkan nama (jelek) Zul, yakni dengan cara menulis di media massa atau blog di internet seolah-olah Zul itu begini begitu bla bla bla. Pokoknya yang negatif-negatif deh. Ga’ enak kalo diumbar disini. Kesian dia. Kejelekannya dijelek-jelekin. Parahnya lagi ada ajakan memusnahkan Zul dari muka bumi. Tega banget mereka. Ga’ takut dosa apa yak. “Lho, kita kan juga dalam rangka membasmi biang dosa.”, begitu jawab mereka menanggapi salah satu komentar para blogger dari dalam dan luar negeri.

Motivasi di balik propaganda yang ga’ sehat ini belum diketahui pasti. Tapi kalo membaca lagi dengan seksama deretan kalimat yang ditulis, naga-naganya sih masih ada sangkut pautnya ama Santi. Berlatar belakang dendam. Yups, diduga sindikat tersebut terdiri dari mereka-mereka (kecuali Adi, gw bisa jamin) yang telah dikecewakan oleh keputusan Santi memilih Zul sebagai kekasihnya. Dan bila memang dugaan itu benar, kemungkinan besar aktor utama dibalik terbentuknya sindikat tersebut adalah si Che Monk. Sosok yang satu ini emang dikenal sebagai provokator ulung. Sering disewa para suporter bola buat memperkeruh suasana. Biasa, job sampingannya. Lumayan lho salarinya, bisa buat nraktir kwaci orang sekelurahan. Nama aslinya Yanuar. Tentang julukannya itu punya stori tersendiri. “Che”, karena dia ngefans berat sama Che Guevara. Kalo “Monk”, mmm…., kurang tau pasti ya, mungkin karena ngerasa mirip monyet kali.

Sebenarnya Che Monk tuh satu angkatan di atas kita. Gw kenal ama doi pas ospek. Pertamanya gw takut banget. Secara dia (sok) galak en (sok) tegas pada waktu itu. Tanpa alasan yang jelas gw diseret ke belakang arena ospek. Dibawa ke suatu tempat yang sengaja didesain semencekam mungkin buat nyiutin mental para mahasiswa baru kayak gw. Setelah nyuruh gw duduk di salah satu kursi yang mirip tempat eksekusi mati narapidana, Che Monk merintahin kelima anak buahnya untuk pergi. Yakin anak buahnya udah pada ga’ ada di sekitaran, Che Monk tiba-tiba langsung berubah. Dari yang tadinya garang jadi murah senyum en nawarin rokok segala ke gw. ups..,sorry bro, gw bukan perokok. Akhirnya dia keluar sebentar dan balik lagi bawain gw martabak manis spesial. Asik….,. Wah, nampaknya ada udang di balik selangkangan ngangkang nih. Bener aja, rupanya dia cuman mau nitip surat cinta buat Santi. Oalah, mas, mas, mau nitip surat cinta aja kok pake acara culik-culikan segala. Dikasih langsung aja napa. Takut ya. Tampangnya aja preman. Nyalinya banci.

Hingga Santi jadian ama Zul, belum pernah sekalipun Santi ngebales surat cinta tersebut. Makanya Che Monk kesel banget. Langsung atau ga’ langsung, tindakan Santi itu bisa dibilang sebagai wujud penolakan sekaligus penghinaan mentah-mentah terhadap tawaran tulus Che Monk. Sebagai lelaki sejati (versi majalah Aneka Satwa yang hanya beredar di Rumah Sakit Jiwa) merasa harga dirinya telah dilecehkan. Che Monk sempat frustrasi. Niat hati bikin lagu patah hati dengan irama rock n roll, eeh.., jadinya malah keroncong. Ya udah kalo gitu, tawarin aja sama Hetty Koes Endang biar dinyanyiin. Siapa tau melejit. Dapet royalti. Kaya deh.

Zul pribadi sejatinya ga’ terlalu ambil pusing soal agresi pencemaran nama baiknya itu. Yah, namanya juga orang iri. Biarin aja deh. Ini bukan yang pertama kalinya lagi. Tapi yang bikin dia stress sekarang adalah soal teror meror (temennya carut marut, sorak sorai, dan remeh temeh, hehehe.. ) yang sering dia dapet lewat SMS dari sindikat yang diduga milik Che Monk tersebut. Dari mulai ancaman mau dijadikan tumbal pesugihan sampai mutilasi terus menghantui hari-hari Zul. Gila. Begitu bonyoknya dikasih tau perihal ketidaknyamanannya belakangan ini, maka demi kelancaran belajarnya juga langsung dikirimkan dua bodyguard alumni debus Banten untuk melindungi Zul dari gangguan-gangguan yang tak bertanggung jawab. Biar bagaimanapun Zul merupakan aset masa depan bangsa yang harus dijaga kelestariannya.

Semenjak punya bodyguard, keadaan Zul jadi aman terkendali. Ga’ ada lagi tulisan-tulisan miring tentang dia. Ga’ ada lagi ancaman-ancaman lewat SMS. Dan geliat sindikat tak bertanggung jawab tersebut seolah memudar. Che Monk ditinggalin anak buahnya yang ga’ mau nanggung resiko terlalu besar. Dijadiin model demo debus, misalnya. Ga’ asik banget kan disuruh-suruh makan beling. Emangnya kuda lumping. Tapi dampaknya Zul jadi songong. Jadi sok jago. Suka pamer kekuatan dan kekuasaan. Otomatis gelar preman kampus pun tersemat secara cuma-cuma tanpa harus mengotori tangannya. Mulai dari genk-nya Gugum yang terkenal suka berburu barang bekas di pasar loak ampe genk-nya Kris yang kulitnya item-item semua (lebih mirip areng bakar daripada orang Somalia) itu takluk. Tepatnya menaklukkan diri. Takut dimakan mentah-mentah ama kedua bodyguard Zul yang konon katanya termasuk keturunan kanibal dari masa kenozoikum. Santi jadi jengah.

Sekalipun tinggal seorang diri, Che Monk pantang menyerah. Dia tidak ingin dikatakan sebagi pengecut lagi. Udah terlanjur basah maju ke medan laga, so, fight aja sekalian. Toh seandainya kalah dan mati bisa jadi kebanggaan tersendiri. Syukur-syukur bisa jadi legenda yang menyabung nyawa demi cinta (cuihh!, najong!!). Che Monk pun tampak seperti ksatria perang tanpa prajurit. Hendak merebut permaisuri dari tangan hanoman (baca : MONYET).
Nanggepin tantangan Che Monk, Zul cuman nyengir kuda tapi jadinya malah mirip kuda nyengir. Seolah di atas angin, dia pun jadi merasa ga’ perlu latihan atau pemanasan dulu sebelum tanding. Che Monk mah cupu. Maka undangan pun ludes tersebar ke seluruh pelosok kampus dalam waktu singkat.

Keesokan harinya di lapangan bola mereka pun bertarung. Zul banyak melakukan provokasi buat manas-manasin Che Monk. Che Monk nervous abis secara dia udah ga’ punya pendukung sebiji pun. Sorak sorai penonton yang semuanya –nyari aman- mendukung Zul makin membahana. Makin bikin ciut nyali Che Monk. Tanpa disadari, satu toyoran keras mendarat telak di muka Che Monk. Ga’ terima dengan serangan mendadak itu, Che Monk langsung nge-be (apa ya bahasa Indonesianya “nge-be”?, pokoknya yang nendang sambil muterin badan itu lho, tau kan?, yang kayak di adegan film Kick Boxer). Ah, sayang cuman ngenain monyongnya Zul aja yang membekaskan air liur di kakinya. Akibatnya kaki Che Monk langsung tumbuh jamur alias panu, kadas, kurap, exim, dan berbagai penyakit kulit lainnya. Beberapa diantaranya merupakan jenis baru dan belum diketahui nama ilmiahnya. Waduh, konsentrasinya pun mulai terpecah antara mewaspadai serangan-serangan Zul ama kekebeletannya garuk-garukin kaki.

Gw yang kebetulan ketemu Adi, Roni, en Boyon tadi di jalan memilih nonton dari kejauhan aja. Di bangku tribun paling atas sambil nikmatin gorengan dan es kelapa muda. Tapi Santi di mana ya. Di bangku official ga’ ada, di tengah kerumunan penonton juga ga’ ada. Harusnya dia kan menyemangati pangerannya (apa?, Zul?, pangeran?, mmm?,). Padahal Zul tadi udah nyuruh salah satu bodyguardnya ngejemput Santi sebelum pertandingan dimulai. Wah, kayaknya Santi nolak buat nonton pertarungan dua pemuda yang ngerebutin dia itu. Emang, sejak awal Santi udah ultimatum Zul kalo Zul nanggepin tantangan Che Monk apapun alasannya, dia bakalan minta putus. Dia ga’ suka aja. Berasa seolah jadi piala bergilir. Dan memang sejak punya bodyguard kelakuan-kelakuan Zul makin ga’ banget bagi Santi. Ga’ simpatik lagi di mata Santi. Ya, walopun sok pahlawannya itu ditunjukkan demi mendapat perhatian lebih, lebih, dan lebih lagi dari Santi. Bukannya bangga, Santi malah muak.

Kemarin sore misalnya. Omen, jagoan bola kita, jadi korban kesekian kalinya Zul. Gara-garanya Omen ngajakin Santi makan bareng di kafe remang-remang (emang beneran namanya gitu kok) selepas kelas arsitektur lanskap. Padahal mereka lagi ngebahas tugas statistika yang harus dikumpulin besok pagi-pagi banget. Kalo bisa sebelum subuh membuka mata. Zul yang kebetulan lewat kafe tersebut hendak ke toilet seketika BAB di celana begitu melihat mereka berdua. Tanpa ba bi bu lagi, Zul langsung nimpukin seonggok tai ke muka Omen. Omen ngerasa surprise banget ,
“ Gila, tau darimana loe ultah gue?, thanks ya,” kemudian meluk Zul dengan bangga. Santi ikut ngejilatin,
“Tau banget loe Zul kalo gue suka martabak rasa pete keju, tapi napa sih ga’ ditarok di piring aja, kan bisa dimakan bareng-bareng.”. Timpal Santi kenikmatan.
“Itu tai gw, beggooo..!.!..,” teriak Zul geram campur bete kayaknya bokapnya Sinchan. Omen dan Santi ga’ percaya. Malah makin rakus. Tai ludes dalam waktu singkat.

Terus terang reaksi Zul terlalu berlebihan banget. Mentang-mentang punya bodyguard yang sakit mandraguna jadi bertindak semena-mena. Jadi terlalu protek ama Santi. Dia ga’ suka kalo Santi disentuh cowok lain, jalan ama cowok lain, ngobrol ama cowok lain. Padahal mereka kan belum tentu selingkuh. Mungkin aja mereka cuman kawin siri (lho?). Biar bagaimanapun Santi adalah manusia normal yang punya kebutuhan untuk bergaul dengan manusia lainnya. Temen diskusi kan ga’ harus pacar sih. Temen nyari daleman juga, kan ga’ harus pacar sih. Akibatnya, beberapa bulan belakangan hubungan mereka mengalami iritasi. Kisah kasihnya terancam punah. Iritasi tersebut sesungguhnya bersumber dari Zul sendiri yang udah mulai parno. Selalu curiga sama Santi. Cemburuan.

Zul udah berubah. Basically, secara fisik masih tetep jelek dan bau. Maksudnya secara sikap. Memburuknya hubungan dua insan ini tak disia-siakan oleh Adi. Makanya dia maksa-maksain Roni ama Boyon buat nemenin nonton duel hebat dua ksatria kutu kupret itu. Roni dan Boyon yang tadinya ogah-ogahan diajakin sekarang malah asik masang taruhan. 100 ribuan. Sebenernya tujuan Adi mau motret Santi dari celah yang tak terduga lalu mengolahnya menjadi sedemikian artistik di komputer. Pake software Adobe Photoshop CS 4 Extended (cupu bgt yak). Ditulisin puisi-puisi cinta ala Adi trus dimasukin ke tas Santi pas dia lagi meleng. Tak beridentitas. Bikin Santi jadi penasaran. Rencananya…,. Biasalah si Adi. Emang gitu anaknya. Selain sableng dan ganteng, orangnya juga nyeni banget. Cool. Misterius pula. Biarlah orang lain bertarung fisik demi ngedapetin cinta Santi. Adi tidak. Adi bertekad ngedapetin Santi dengan cara yang elegan (Hua hahaha, hua hahaha…..,). Mengandalkan otak. Pantesan kok bawa-bawa kamera DSLR-nya segala. Nikon D-90 (amatiran). Gw pikir buat nimpuk musuh kalo tiba-tiba situasi di lapangan mulai tak terkendali dan terjadi tawuran massa. Gila!. Mahal taok!.

Pada akhirnya Che Monk terpaksa harus mengakui keperkasaan Zul. Tak bisa dipungkiri memang, selama masih dilindungi bodyguardnya Zul tetap number one and only. Sebenernya, ditengah pertarungan tadi Che Monk sempat unggul dan menguasai keadaan. Melihat Zul hampir kalah, kedua bodyguardnya pun turun tangan ngebantuin. Pertarungan jadi tak seimbang. Tak sportif. Satu lawan tiga. Wasit yang memimpin jelas ga’ bisa ngapa-ngapain selain mengesahkan tindakan Zul. Kalo ga’, pak wasit terancam bakalan pulang ke rumah tanpa sehelai benangpun. Kebayang kan, bisa malu berat dia cuey. Masih mending kalo ditawar ama majalah Playboy buat dijadiin model. Nah, kalo diseret ke rumah sakit jiwa ama petugas ketertiban kota gimana. Mau makan apa anak istrinya nanti. Makan sampah?. Lo aja kali.

Kemenangan tersebut membangkitkan euphoria yang melampaui batas wajar dalam diri Zul…..,
Kenyataannya, Santi tidak suka diperebutkan melalui adu otot semacam itu. Maka keesokan harinya, ketika seluruh kampus bergembira merayakan pesta kemenangan Zul. Santi datang membawa selembar kertas keramat dan diserahkan langsung kepada Zul. Zul jadi GR dan ngerasa sungkan sendiri, mengira pemberian Santi tersebut adalah tiket pergi berlibur ke Taman Makam Pahlawan tempat favoritnya sebagai hadiah atas kemenangannya mempertahankan Santi. Pas dibuka Zul langsung lemas. Ternyata isinya tulisan yang berbunyi ‘ Lupakan aku, Kamu terlalu BAU bagiku, Bye…, ‘. Santi terus melangkah walaupun sesungguhnya dalam hati juga tidak rela melepas Zul.

Santi semakin jauh meninggalkan Zul…..,
Senyap,

Zul mencret di celana….,
Bogor, 25 Mei 2002

Tidak ada komentar:

Posting Komentar