KOMPAS Opini, 13 Oktober 2012
Presiden
"Mari
melipatgandakan kriteria dibanding presiden-presiden sebelumnya. Ini negara
besar dan kaya raya, tetapi dikelola dengan kesembronoan melampaui batas."
Presiden kita berikutnya jangan asal presiden.
Rakyatlah yang harus mencari pemimpin bukan menunggu orang-orang yang
menyodorkan diri untuk menjadi pemimpin.
Rakyat adalah pemegang kedaulatan. Mari kita belajar
untuk tidak meneruskan tradisi kelalaian: membiarkan diri dipimpin ”pemimpin
setoran” perusahaan bernama partai politik. Parpol tidak perlu pemimpin sejati.
Ekspektasi parpol adalah laba sehingga dipilihlah pemimpin yang paling
menguntungkan perusahaannya.
Kalau konstitusi dan undang-undang tidak memungkinkan
rakyat mencari pemimpin, berarti undang-undang dibuat tanpa kejernihan ilmu,
kejujuran demokrasi, dan kecintaan kepada rakyat.
Saya tidak percaya bangsa Indonesia hobi masuk ranjau
sehingga menjalani sejarah dengan gairah sakit jiwa mencari ranjau-ranjau baru.
Apakah penderitaan dan ketertindasan sudah menjadi narkoba psikologi dan budaya
kita?
Mari melipatgandakan kriteria dibanding
presiden-presiden sebelumnya. Ini negara besar dan kaya raya, tetapi dikelola
dengan kesembronoan melampaui batas. Ini kepulauan raksasa dengan
manusia-manusia spesifik dan multitalenta, tetapi di titik nadir
ketidakpercayaan diri. Ini garuda yang mabuk jadi emprit.
Calon pemimpin tidak sekadar diuji integritas,
kredibilitas, dan kematangan profesionalnya. Ia harus punya visi dan berani
mengambil risiko pribadi untuk keperluan rakyat.
Secara nalar, presiden dan pemerintah berani tidak makan sebelum rakyatnya
kenyang. Ibarat kepala keluarga, saat kenduri ia makan terakhir. Kalau
kebakaran, anggota keluarga ia selamatkan dulu. Ia siap jadi orang paling
sedih.
Secara agama presiden adalah orang yang paling berat
hatinya melihat penderitaan rakyat dan tidak cengeng atas penderitaannya
sendiri. Kalau malaikat mendadak mencabut nyawanya, presiden merintih,
”Rakyatku, rakyatku....” Bukan ”Ibu...”, ”Istriku...”, atau ”Anakku....”
Hamba dengan Tuhan
Adab sosial Bangsa Jawa menemukan idiom manunggaling
kawula lan Gusti. Menyatunya hamba dengan Tuhan.
Bukan berarti hamba adalah rakyat, Presiden adalah
Tuhan. Itu pemahaman manipulatif kekuasaan politik. Dalam demokrasi Tanah Air
dan lembaga negara adalah hak milik rakyat. Presiden pada posisi dimandati,
dipinjami sebagian kedaulatan dalam batas ruang dan waktu tertentu. Maka tafsir
feodal ”menyatunya hamba dengan Tuhan” tidak bisa dipinjam untuk mengabsolutkan
kekuasaan.
Mungkin sebagian raja masa lalu memperdaya rakyat
dengan penafsiran rakyat adalah ”kawula” dan raja adalah ”Gusti”. Namun, sejak
Sunan Kalijaga pada abad ke-14 hingga ke-16 menginovasikan kehadiran Semar
dalam peta kekuasaan raja-raja lewat wayang, struktur hubungan vertikal
hamba-Gusti rakyat-raja menjadi relatif.
Semar adalah rakyat biasa. Lengkapnya Ki Lurah Semar
Badranaya, tinggal di dusun Karang Kedempel. Pada saat yang sama ia adalah
Panembahan Ismaya, dewa senior berposisi sangat tinggi, di atas Batara Guru
yang jadi presiden Jagat Raya. Di atas Semar adalah Sang Hyang Widhi (istilah
Arabnya ”Ilahi”) atau Sang Hyang Wenang (”Robbi”), atau Tuhan.
Kehadiran Semar melengkungkan struktur kedaulatan
vertikal menjadi bulatan. Semar ada di titik tertinggi di bawah Tuhan,
sekaligus di titik terendah bersama rakyat. Dua titik itu satu sehingga garis
lurus vertikal jadi bulatan. Inilah indahnya desain demokrasi Sunan Kalijaga.
Maka dalam diri seorang presiden, kawula dengan
”Gusti” itu manunggal. Di dalam entitas tugas kepresidenan, rakyat dengan Tuhan
menyatu. Kalau Presiden menindas rakyat, Tuhan sakit hati. Kalau Presiden
mengkhianati Tuhan, rakyat turut tertimpa kehancuran.
Isi kepala presiden adalah upaya menyejahterakan
rakyat. Isi dadanya adalah ”rasa bersalah” karena belum maksimal bekerja, serta
”kerendahan hati” kepada Tuhan dan rakyatnya.
Maka sejak semula ia tidak menawar-nawarkan diri,
memasang gambar wajahnya di sepanjang jalan, menyatakan ”aku yang baik”. Kata
tukang becak di Yogyakarta: Bisa rumangsa, ora rumangsa bisa: sanggup
merasa tak mampu, bukan mampu merasa ”bisa”. Rakyat yang menilai apakah presiden
bisa atau ber-bisa.
Sebenarnya mengherankan melihat orang Jawa kehilangan
kearifan lokalnya dan terseret model aplikasi tipu-daya demokrasi untuk memilih
pemimpin.
Seluruh cara mencalonkan diri—entah menjadi presiden
atau lurah—sangat menunjukkan bahwa mereka ”rumangsa bisa”. Ini membuat
semua orang yang berkualitas ”bisa rumangsa” minggir dari politik.
Dengan demikian, hampir mustahil rakyat akan memperoleh pemimpin dambaan dari
antara para pemamer wajah yang bermutu ”rumangsa bisa”.
Di masjid dan mushala mana pun tidak ada orang bodoh
tak tahu diri yang berteriak, ”Ayo berbaris makmum, saya yang paling
pantas menjadi imam shalat”.
Dalam kehidupan manusia yang berakal, pemimpin lahir
dari apresiasi rakyatnya. Rakyat pulalah yang mendaulatnya menjadi pemimpin.
Presiden kita haruslah orang yang mengerti dan mengerti bahwa ia mengerti, tahu
tentang banyak hal, dan ada sesuatu yang seseorang ataupun masyarakat belum
tahu. Tugasnya sebagai presiden adalah mencari tahu. Ia berdiri paling depan
menembus kegelapan untuk menemukan cahaya.
Keluasan Hati
Presiden menjadi presiden karena ia punya kesanggupan
akal, stamina mental, keluasan hati, kesabaran rohani, dan kekompakan frekuensi
dengan seluruh unsur jagat raya untuk membawa ”oleh-oleh” buat rakyatnya
sesuatu yang rakyat belum tahu. Untuk Indonesia yang hancur lebur sekarang ini,
presiden wajib berani mati.
Presiden adalah pengambil keputusan pertama dan utama
untuk melangkahkan kaki menapaki kegelapan. Sebab, manusia itu hidup dulu baru
mengerti, bukan mengerti dulu baru hidup.
Ya. Masa depan itu gelap. ”Aku”, kata Tuhan,
”memperjalankan hamba-hambaKu menembus kegelapan malam hari”. Hidup adalah
malam hari karena ”sekarang” sesungguhnya tak ada. Tatkala engkau berada di
”se”, tiba-tiba sudah ”ka”. Tatkala engkau tiba di ”ka”, ”se” sudah masa silam
yang ”tiada”, sementara ”rang” adalah masa depan yang engkau tak tahu.
Jika engkau melembut, waktu tampak olehmu. Jika engkau
meregang, ketidak-terbatasan ruang tak terjangkau olehmu. Maka kuda-kuda
terbaik adalah kerendahan hati. Itulah ”kesadaran debu”.
Tak bisa kau tempuh gelapnya ”rang” dengan modal
”merasa bisa”. Hari siang pun gelap. Sebab, matahari bukan benar-benar
bercahaya. Ia hanya mengantarkan kesadaran tentang cahaya. Orang menanam tak
tahu panennya, orang berjualan tak tahu berapa calon pembelinya. Orang lahir
tak tahu matinya.
Mungkin itu sebabnya Tuhan menuntun melalui salah satu
sifat-Nya: Kalau mau jadi presiden, pertama sekali kamu harus ”mempelajari
kegaiban dan menyaksikannya”. ’Alimul-ghaibi was-syahadah.’ Kognitif dan
empiris. Kegaiban yang paling utama adalah rahasia hati rakyatmu. Di situlah
sesungguhnya cahaya itu berada.
Emha Ainun Nadjib
Budayawan
Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) adalah seorang Budayawan yang lahir pada tanggal 27 Mei 1953 di Jombang, Jawa Timur. Beliau adalah ayah dari Sabrang Mowo Damar Panuluh/Noe (Yogyakarta, 10 Juni 1979), vokalis band Letto.
Adi Ankafia adalah seorang Amateur Blogger yang lahir pada tanggal 25 Mei 1986 di Madiun, Jawa Timur. Aktivitas sehari-harinya disibukkan dengan bekerja di Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, disamping kuliah di Institut Pertanian Bogor, dan Jalan-jalan, Makan-makan. Menyukai Sun Shu Mei (孫淑媚).